Selamat datang dan terimakasih telah mengujungi Blogspot NIAS ISLAND semoga artikel blog ini bermanfaat dan membuat anda terhibur ^_^
Sabtu, 27 Oktober 2012
Bawamataluo
Rabu, 17 Oktober 2012
Selasa, 16 Oktober 2012
Wahana Kepercayaan Tradisional Nias Tanoniha
Wahana Kepercayaan Tradisional Nias Tanoniha
Para leluhur Nias kuno menganut kepercayaan animisme murni. Mereka mendewakan roh-roh yang tidak kelihatan dengan berbagai sebutan, misalnya: Lowalangi, Laturadanö, Zihi, Nadoya, Luluö dan sebagainya. Dewa-dewa tersebut memiliki sifat dan fungsi yang berbeda-beda. Selain roh-roh atau dewa yang tidak kelihatan dan tidak dapat diraba tersebut di atas, mereka juga memberhalakan roh-roh yang berdiam di dalam berbagai benda berwujud, misalnya: berbagai jenis patung, (Adu Nama, Adu Nina, Adu Nuwu, Adu Lawölö, Adu Siraha Horö, Adu Horö dll) yang dibuat dari bahan batu atau kayu dan juga percaya pada pohon tertentu, misalnya: Fösi, Böwö, Endruo, dll. Oleh karena masyarakat Nias percaya terhadap banyak dewa, maka sering disebut bahwa orang Nias kuno menganut kepercayaan politheisme.
Dalam acara pemujaan dewa-dewa tersebut, mereka menggunakan berbagai sarana misalnya: Dukun atau pemimpin agama kuno (Ere) sebagai perantara dalam menyampaikan permohonan selalu memukul fondrahi (tambur) pada saat menyampaikan permohonan dalam bentuk syair-syair kuno (Hoho) atau mantera-mantera. Selain itu, para ere juga mempersiapkan sesajen, misalnya: sirih dan makanan lainnya untuk dipersembahkan kepada para dewa agar apa yang dimohon dapat dikabulkan. Sesajen dalam bentuk makanan (babi, ayam, telur) disertai kepingan emas juga diberikan supaya upacara pember-halaan itu sempurna dan permohonan dikabulkan. Persembahaan dalam bentuk korban makanan dapat dibagi-bagi kepada orang yang hadir, akan tetapi setelah upacara penyembahan selesai, emas sering kali menjadi porsi ere pada akhirnya.
Banyak benda-benda mati yang dipercayai seolah-olah hidup dan memiliki kekuatan supernatural (sakti) sehingga dijadikan jimat sebagai sumber dan penambah kekuatan/kekebalan. Dari bebatuan, misalnya: Sikhöri Lafau, Kara Zi’ugu-ugu, Kara Mboli, Öri Zökha dan sebagainya. Sesama manusia juga di-ilah-kan. Hal ini tergambar dari ungkapan seperti: Sibaya ba sadono Lowalani (Lowalangi) ba guli danö. Artinya: Paman (saudara laki-laki sekandung dari ibu) dan orang tua merupakan jelmaan Tuhan yang hadir di bumi. Maka tidak heran kalau dalam tradisi kuno sebelum agama baru masuk di Nias, patung leluhur (Adu Zatua) selalu dibuat untuk kemudian diberhalakan. Kepercayaan dalam bentuk ani-misme-politheisme ditinggalkan oleh masyarakat setelah para misionaris menyebarkan agama di Nias. Pembuatan patung-patung dilarang, karena hanya dipandang dari sisi teologis saja, sementara pesan moral dan nilai seni di dalam berbagai patung (ukiran dan pahatan) itu tidak dihiraukan.
Pemusnahan patung-patung secara besar-besaran dilakukan pada masa adanya gerakan ‘Fangesa Dödö Sebua’ (pertobatan massal) sejak tahun 1916 sampai dengan tahun 1930 yang dimotori oleh para misionaris Kristen dari Eropa yang menganut pandangan “Christ against Culture” (Kristus menentang Kebudayaan).
Puluhan tahun kemudian, baru disadari, bahwa tindakan pemusnahan wahana religi kuno yang dilakukan pada masa lalu merupakan ‘kesalahan yang sangat merugikan suku bangsa’ yang sama artinya dengan pemusnahan bukti sejarah perkembangan masyarakat Nias, penghancuran identitas dan pembunuhan kreativitas seni yang dahulu mengalir begitu deras dalam darah generasi zaman itu.
51
Nomor Inventaris : 03-0138
Nama / Name
Nias : Fondrahi
Indonesia : Tambur
English : Long drum
Asal / Origin : Siwalawa, Telukdalam
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
This fondrahi used to be bitten by traditional priest or shaman (Ere) during conveying a request or praise to deity (world creator) accompanied by the sound of this instrument. Today, it’s merely used as a common musical instrument.
Tambur ini biasanya dipakai oleh imam tradisional atau dukun (Ere) pada saat ia menyampaikan permohonan atau puji-pujian kepada dewa yang diucapkan dalam bentuk syair (Hoho) dengan iringan bunyi alat musik ini. Sekarang hanya digunakan sebagai alat musik saja. Terbuat dari pohon nibung yang telah dilubangi dengan cara mengeruk daging hingga tembus dari kedua sisi. Pada salah satu ujung yang memiliki diameter lingkaran yang lebih besar ditutup dengan kulit kambing atau kulit ular, diikat dengan rotan di sekeliling pinggirnya. Panjang 73 cm dengan diameter 23,3 cm.
52
No. Reg. : 03-0115
Nama / Name
Nias : Takula
Indonesia :
English : Wooden Headgear
Asal / Origin : Maenamölö, Telukdalam
Keaslian / Originality : Replica
Deskripsi / Description :
This was worn by traditional priest or shaman (Ere) in renewal and ratifying of law rite ceremony called fondrakö. This headgear symbolized the new face or new spirit of human being that could integrate the mankind with the creator (God).
Takula ini dibuat dari bahan kayu dengan tinggi 134 cm. Bentuknya seperti topeng manusia, mempunyai dua tanduk berbentuk ‘V’ di atas kepalanya. Ini dipakai oleh pemuka agama kuno atau imam tradisional (Ere) pada puncak upacara pembaharuan hukum dan pengesahan hukum yang disebut Fondrakö. Takula ini melambangkan wajah atau jiwa manusia yang baru, sehingga dipandang dapat bertindak sebagai penghubung (mediator) antara manusia dengan penciptanya.
53
Nomor Inventaris : 03-3374
Nama / Name
Nias : Adu Harimao
Indonesia : Patung Harimau
English : Tiger figure
Asal / Origin : Bawömataluo, Telukdalam
Keaslian / Originality : Replica
Deskripsi / Description :
In ancient time, according to Nias belief in Maenamölö region Southern Nias, sort of this statue was marched by many people and constituted a sacred rite once every seven or fourteen years. It’s thrown away in the river. They believed that all sins and violence they committed during the previous years would wash away together with tiger figure.
Pada zaman dahulu sebelum agama baru masuk, menurut kepercayaan masyarakat Nias di wilayah Maenamölö, Nias Selatan, patung seperti ini diusung dan diarak sekali setiap tujuh tahun sebagai salah satu upacara religi kuno yang sakral. Upacara tersebut dinamakan ‘Famatö Harimao.’ Setelah patung tersebut diarak, kemudian dipatahkan dan dibuang ke dalam sungai atau air terjun dengan keyakinan bahwa segala kesalahan, pelanggaran dan dosa-dosa yang telah mereka perbuat pada tahun sebelumnya akan hanyut bersama dengan patung harimau tersebut. Famatö Harimao (pematahan patung harimau), tidak ada hubungannya dengan hewan harimau yang sesungguhnya tidak terdapat di Nias. Patung yang diarak pada zaman dahulu tidak seperti ini. Namanya Adu Harimao, tetapi anatominya seperti bentuk anjing berkepala kucing. Pada penutupan (akhir) upacara Famatö Harimao, hukum dan peraturan kemasyarakatan juga ditetapkan dan disyahkan layaknya seperti dalam Fondrakö (upacara pembaharuan, penetapan dan pengesahan hukum).
Karena dewasa ini, masyarakat telah memiliki agama dan hukum yang baru, maka upacara Famatö Harimao tidak dilaksanakan lagi. Dalam usaha pelestarian dan revitalisasi budaya lokal, maka tradisi kuno ini sering dilakukan di Nias Selatan pada moment-moment tertentu, namun upacara ini bukan lagi ‘Famatö Harimao’ namanya tetapi diubah menjadi ‘Famadaya Harimao’ (perarakan patung harimau).
54
No. Reg. : 03-3461
Nama / Name
Nias : Adu Sarambia
Indonesia :
English : A mother figure with her descendent
Asal / Origin : Telukdalam, Nias Selatan
Keaslian / Originality : Replica
Deskripsi / Description :
A mother figure with her descendent is made for a mother who had completely held her feast of merit (fa’ulu/owasa) in her lifetime. It was made after the mother passed away.
Patung seorang ibu bersama keturunannya yang terbuat dari kayu. Adu Sarambia dibuat untuk seorang ibu yang telah melakukan segala proses adat dalam bentuk pesta (Fa’ulu/owasa) dalam hidupnya. Tangannya terentang seolah-seolah sedang menari dengan mengenakan busana tradisional untuk menyambut para tamu yang menghadiri pesta. Pada lengan kanannya ada pundi-pundi tempat sirih (Bola Nafo).
55
Nomor Inventaris : 03-2992
Nama / Name
Nias : Adu Nina
Indonesia : Patung Leluhur
English : A mother figure
Asal / Origin :
Keaslian / Originality : Replica
Deskripsi / Description :
This statue is called Adu Nina or Adu Zatua, which was made of wood. Adu Nina used to be made after a mother passed away instead of the real mother. Her children believed that the spirit of their mother still stayed inside the wooden idol.
Patung ini disebut Adu Nina atau Adu Zatua yang dibuat dari kayu. Adu Nina dibuat setelah seorang ibu meninggal dunia sebagai pengganti dirinya. Anak-anaknya percaya bahwa arwah ibu mereka masih tinggal di dalam patung tersebut, sehingga kalau mereka hendak memohon sesuatu, mereka datang kepada patung ibu dengan membawa sesajen. Tinggi 38,4 cm dengan tebal 4,7 cm.
56
Nomor Inventaris : 03-2994
Nama / Name
Nias : Adu Nama
Indonesia : Patung Leluhur
English : Ancestor’s figure
Asal / Origin : Hilinakhe, Nias Tengah
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
This statue is called Adu Nama or Adu Zatua, which was made of wood. Adu Nama used to be made after a father passed away instead of the real father. His children believed that the spirit of their father still stay inside the wooden statue.
Patung ini disebut Adu Nama atau Adu Zatua yang dibuat dari kayu. Adu Nama dibuat setelah seorang ayah meninggal dunia sebagai pengganti dirinya. Anak-anaknya percaya bahwa arwah ayah mereka masih tinggal di dalam patung tersebut, sehingga kalau mereka memohon sesuatu, mereka datang menyembah Adu Nama dengan membawa sesajen. Tinggi 35 cm dan tebal 9 cm.
57
Nomor Inventaris : 03-2787
Nama / Name
Nias : Adu Furugö
Indonesia :
English :
Asal / Origin : Lölö’ana’a, Nias Tengah
Keaslian / Originality : Replica
Deskripsi / Description :
Wooden ancestor figure of some lineage.
Patung leluhur dari beberapa keturunan. Terbuat dari kayu. Lebar 27,7 cm dan tinggi 111,2 cm.
58
Nomor Inventaris : 03-2748
Nama / Name
Nias : Adu Siraha
Indonesia : Patung Siraha
English : Siraha Figure
Asal / Origin : Bawömataluo, Telukdalam
Keaslian / Originality : Replica
Deskripsi / Description :
This is made of wood. It’s idolized and was believed could prevent disaster.
Patung ini asli, terbuat dari kayu. Disembah dan dipercayai dapat menolak bala. Lebar 7,7 cm, tinggi 45 cm dan tebal 5,1 cm.
59
Nomor Inventaris : 03-02375
Nama / Name
Nias : Adu Siraha Horö
Indonesia : Patung Siraha Horö
English : Siraha Horö Figure
Asal / Origin : Bawòmataluo, Telukdalam
Keaslian / Originality : Replica
Deskripsi / Description :
This statue was original and was made for religious purpose. The other use of this figure was for apologizing as ancestors made a blunder such as: cutting off human head. As they came back from head hunting, they used to apologize to Adu Siraha Horö before staying with their family. They did this to avoid disaster.
Patung ini dibuat untuk tujuan ritual. Biasanya terbuat dari kayu Manawa Danö, Manawa Mbanua atau Ma’usö. Tinggi 151,9 cm dengan tebal 9.0 cm. Kegunaan dari patung ini yaitu: Sebelum para leluhur pergi berburu kepala manusia, mereka meminta restu dari patung ini sambil memukul Fondrahi (tambur) dan mengatakan:
Ubözi wondrahi alaŵa,
Saya memukul tambur hingga bersuara nyaring,
Ubözi wondrahi ebua,
Saya memukul tambur hingga bergemuruh,
Ya’oto ono la’i,
Aku anak yang satria,
Ya’oto simacua,
Aku pria perkasa,
Möi ndraga ba danö,
Kami akan pergi ke medan perang,
Möi ndraga mamunu niha,
Kami akan pergi membunuh orang,
Ubözi wondrahi alaŵa,
Saya memukul tambur hingga bersuara nyaring,
Ubözi wondrahi ebua,
Saya memukul tambur hingga bergemuruh,
Ombakha’ö na te’ala,
Beritahukanlah kalau kalah,
Ombakha’ö göi na möna.
Beritahukan juga kalau menang.
Juga diberhalakan untuk memohon penga-mpunan jika mereka telah melakukan kesalahan yang sangat besar seperti membunuh orang pada saat berperang atau pada saat mereka baru pulang dari perburuan kepala manuasia. Mereka harus terlebih dahulu menghadap Adu Siraha Horö untuk memohon pengampunan sebelum bergabung dengan keluarga. Tujuannya untuk menghindari bencana.
Dalam ritus ini yang bersangkutan menyandarkan tubuhnya pada patung Siraha Horö sambil mengatakan ‘Ohe khöu horögu!’ (Bawalah untukmu dosa-dosaku). Tradisi ini sudah tidak dipraktekkan lagi sejak agama baru masuk di Nias.
60
Nomor Inventaris : 04-0187
Nama / Name
Nias : Adu Lawölö
Indonesia : Patung Lawölö
English : Protective figure
Asal / Origin : Hililaora, Lahusa
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
Adu Lawölö was normally made of wood or stone. The stone Protective Figure was put in front of house, whereas wooden Protective Figure was placed in the house. The protection and power were asked from this statue if the enemies came. Adu Lawölö is also called Adu Nama (father figure).
Patung Lawölö biasanya dibuat dari batu atau dari kayu. Patung Lawölö dari batu diletakkan di pekarangan rumah, halaman kampung (ewali) atau di gerbang masuk desa (Bawagöli) sehingga disebut juga Lawölö Mbanua, sedangkan yang dibuat dari kayu diletakkan di dalam rumah. Kepada patung ini diminta perlindungan, pertahanan dan kekuatan bila ada musuh (Emali) kampung. Patung Lawölö juga sering disebut Adu Nama (patung ayah).
Wahana Religi (2)
Budaya, Museum
Ornamen
Pusaka yang paling dikenal di Nias adalah rumah-rumah tradisional yang terdiri atas beberapa tipe antara lain:
1. tipe rumah tradisional Nias Selatan yaitu: Omo Nifolasara, Omo Tuho dan Omo Sala;
2. tipe rumah tradisional Nias Tengah, meliputi semua jenis rumah tradisional di wilayah Gomo hingga perbatasan Lölöwa’u;
3. tipe rumah tradisional Idanögawo;
4. tipe rumah tradisional Nias Utara dan Barat, yaitu Omo Laraga;
Pada rumah-rumah tersebut diukir berbagai ornamen yang biasanya diadopsi dari flora dan fauna yang ada di sekitar mereka. Keadaan alam dengan berbagai gejalanya menjadi sumber inspirasi kreativitas. Beberapa jenis fauna yang sering diukir atau di pahat sebagai ornamen dan sekaligus menjadi simbol dengan makna implisit berupa pesan moral dan ekspresi jiwa serta perasaan pemilik dan pembuat, misalnya: buaya, monyet, beberapa jenis burung (enggang, elang dll.), ikan, ular, monster (Lasara), ayam jago, rusa, cicak, dan sebagainya. Sedangkan yang diadopsi dari jenis flora misalnya: pohon Fösi, Nandrulo, Endruo, pohon Tori’i-Tora’a (sejenis pohon yang berhubungan dengan mitos-mitos asal-usul masyarakat Nias), pakis (Wöli-wöli) dll. Ukiran-ukiran itu dikombinasikan dengan manusia yang mengenakan pakaian dan berbagai bentuk perhiasan. Ada juga ornamen lain yang sering dijumpai yaitu ‘Ni’ogolilimo’ sejenis lingkaran dengan pola bintang (mata angin) di tengahnya dalam bentuk daun-daun sehingga kelihatannya seperti belahan jeruk yang dipotong pada pertengahannya.
Selain flora dan fauna sebagai sumber inspirasi, mereka juga mengukir (memahat) sesuatu berdasarkan pengalaman dan penglihatan aneh mereka setiap hari, seperti yang sering diukir pada Balö Hulu dan Hagu Laso di dalam rumah tradisional. Selain pada rumah-rumah tradisional, ornamen tersebut juga sering dipahat pada batu megalit, bahkan juga pada peralatan sehari-hari, misalnya pada peralatan pertanian dan rumah tangga.
61
Nomor Inventaris : 03-2875
Nama / Name
Nias : Adu mbinu
Indonesia : Patung kepala manusia
English : Cut off human head
Asal / Origin : Hili’otalua, Nias Tengah
Keaslian / Originality : Replica
Deskripsi / Description :
A cut off human head that depicts an ancient tradition of people in some areas in Nias. It is not applied anymore.
Patung kepala manusia yang dibuat dari kayu. Patung tersebut menggambarkan tradisi kuno yang dulu dipraktekkan oleh sebagian masyarakat Nias yaitu berburu kepala manusia (Mangai Högö, Binu). Cara memenggal kepala manusia seperti yang terlihat pada patung tersebut. Tradisi ini telah lama ditinggalkan terlebih setelah agama baru masuk di Nias dan setelah Indonesia merdeka ditambah lagi dengan adanya kesadaran karena kemajuan pendidikan. Panjang 74,5 cm dan tinggi 11,3 cm.
62
Nomor Inventaris : 03-0765
Nama / Name
Nias : Hagu laso
Indonesia : Relief
English : Relief of wooden carving
Asal / Origin : Onohondrö, Telukdalam
Keaslian / Originality : Replica
Deskripsi / Description :
Relief of wooden carving on the wall of Southern Nias traditional house.
Papan dinding rumah tradisional Nias Selatan yang telah diukir dengan berbagai ornamen ciri khas Nias.
63
Nomor Inventaris : 83-0267
Nama / Name
Nias : Balö Hulu
Indonesia : Relief
English : Relief of wooden carving
Asal / Origin : Gomo
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
A relief of wooden carving in traditional house of Gomo. By such carving, the owner expresses something to the community particularly for visitors.
Ukiran dalam rumah tradisional dengan posisi menghadap ke bawah seolah-olah sedang terbang. Biasanya, di atas Balö Hulu diletakkan patung orang tua (Adu Zatua). Melalui ukiran semacam ini, pemilik rumah mengekspresikan berbagai hal kepada masyarakat terutama kepada tamu berdasarkan simbol (lambang). Pemilik rumah juga meyakini bahwa dengan adanya ukiran tersebut mereka dapat mengetahui sesuatu yang belum terjadi melalui firasat yang muncul dari kekuatan berbagai ukiran yang ada pada Balö Hulu.
64
Nomor Inventaris : 03-2088
Nama / Name
Nias : Ora Vo
Indonesia : Tangga
English : Wooden ladder
Asal / Origin : Lawindra, Telukdalam
Keaslian / Originality : Original
Deskripsi / Description :
A wooden ladder to go up to rafter above the hearth in southern traditional houses.
Tangga kayu untuk naik ke kasau yang berada di atas dapur rumah tradisional Nias Selatan. Pada setiap jenjang ada ukiran manusia dan ornamen lainnya. Lebar 12,5 cm, tinggi 153,8 cm dan tebal 3,0 cm.
Kirimkan Ini lewat Email
Cerita Legenda Nias
1.Legenda Laoŵömaru Nias Tanoniha
Di Nias, ternyata juga terdapat kepercayaan bahwa rambut adalah pusat kekuatan. Konon Raja Labao Maros dari Nias memiliki kekuatan fisik luar biasa. Demikian awal cerita tentang Labao Maros [sic] dalam bukuRambut Anda, masalah, perawatan, dan penataannya karya Kusumadewi (2003:24).
Labao Maros, tulis Kusumadewi, menaruh hati kepada istri pamannya. Sang paman yang sakit hati meminta bantuan Sultan Johor. Labao Maros berhasil ditangkap, tetapi tidak seorang pun dapat melukai, apalagi membunuhnya. Sama seperti kisah Samson dan Delilah, istri Labao Maros membuka rahasia kekuatan fisik suaminya yang berpusat di sehelai rambut kaku bagaikan kawat baja yang tumbuh di antara rambut kepalanya. Setelah rambut tersebut dicabut, Labao Maros dengan mudah dapat dibunuh oleh para penangkapnya.
Cerita serupa ditranskripsi J.P. Kleiweg de Zwaan tahun 1911 (Frazer, 1923:273-4; Telaumbanua, 1993:58). Zwaan berkisah perihal Laubo Maros [sic]. Suatu ketika terjadi bencana alam di Sulawesi. Sebuah desa luluh-lantak. Kepala desa bernama Laubo Maros beserta sejumlah warga yang selamat meninggalkan desa. Mereka berlayar sampai ke Pulau Nias.
Di dalam rombongan terdapat bibi dan paman Laubo Maros. Laubo Maros jatuh cinta pada bibinya. Dia menipu pamannya, meminta pamannya pergi menyelidiki isi Pulau Nias. Ketika sang paman pulang, didapatinya Laubo Maros tengah bermesraan dengan istrinya. Sang paman marah dan berniat membalas dendam. Maka, dia pergi meminta bantuan Pangeran Johor.
Selanjutnya, Laubo Maros diperangi Pangeran Johor. Dalam pertempuran, selalu saja Laubo Maros menang. Namun, setelah rambutnya yang panjang dipotong, kekebalan Laubo Maros hilang. Dia berhasil ditaklukkan dan dibunuh. Para pengikut Laubo Maros yang masih setia melarikan diri, mereka sampai dan kemudian bermukim di Hinako.
Sebelum Zwaan, tahun 1881 L.N.H.A. Chatelin telah pula mentranskripsi cerita tentang seorang keturunan Bugis bernama Laoŵömaru (Kunst, 1939:6). Laoŵömaru datang dari daratan Sumatera. Di pantai timur Nias dia menjadi bajak laut. Pada suatu hari Laoŵömaru berperang melawan pasukan Sicho (Si Djohor). Karena kalah, dia meninggalkan pantai timur, berlayar mengelilingi ujung utara Pulau Nias, dan akhirnya sampai serta bermukim di Hinako.
Sejarah Kolektif
Dalam khazanah cerita rakyat Nias, cerita Labao Maros (versi Kusumadewi) atau Laubo Maros (versi Zwaan) atau Laoŵömaru (versi Chatelin) merupakan cerita berbentuk legenda (Zebua, 2010:158). Legenda (legend) adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh sang empunya cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi (Bascom, 1984:11; Danandjaja, 1984:66).
Legenda tidak dianggap suci, ditokohi manusia yang adakalanya mempunyai sifat luar biasa, dan sering kali dibantu makhluk ajaib. Tempat terjadi legenda di dunia, seperti yang kita kenal kini, waktu terjadinya belum begitu lampau. Legenda sering dipandang sebagai sejarah kolektif atau sejarah masyarakat (folk history), walaupun mengalami distorsi karena sejarah itu tidak tertulis. Legenda dibedakan dengan mite.
Mite (myth) adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohi para dewa atau makhluk setengah dewa. Mite terjadi di dunia lain, atau di dunia yang bukan seperti yang kita kenal sekarang, terjadi pada masa lampau. Sedangkan dongeng (folktale) juga mirip mite, tetapi tidak dianggap benar-benar terjadi, serta tidak terikat oleh waktu dan tempat.
Di pantai timur Nias, tujuh kilometer dari Gunungsitoli ke arah Gidö, di Desa Fodo, terdapat Tögi Laoŵömaru. Gua (tögi) ini menyimpan kisah Laoŵömaru. Laoŵömaru dipercaya sebagai orang kuat, kebal, memiliki öba(ilmu magik), dan berambut gondrong. Orang Nias masa kini lebih mengenal legenda Laoŵömaru versi Sundermann, ketimbang versi Chatelin ataupun Zwaan. Legenda versi Sundermann terdapat dalamRealiënboek.
Menurut Sundermann (1923:28-30), Laoŵömaru yang berkesaktian kebal adalah anak dari Lahari. Dia menjadi bajak laut, bermukim di sebuah gua di Fodo. Laoŵömaru memiliki seekor ayam jago. Ayam tersebut selalu berkokok, memberi tanda kepada Laoŵömaru bila ada perahu atau kapal melintas di sekitar gua kediaman Laoŵömaru.
Dengan kesaktiannya, Laoŵömaru pernah berusaha menarik gunung menyeberang laut [versi lain mengatakan, dia ingin menyatukan Pulau Nias dan Sumatera], tetapi usaha tersebut gagal. Sering Laoŵömaru diperangi, tetapi dia selalu menang. Barulah ketika istrinya yang bernama Sihoi diancam akan dibunuh, Laoŵömaru memberitahukan rahasia kekebalannya. Di kepalanya ada sembilan rambut kawat yang mirip jarum. Setelah rambut itu dicabut, barulah Laoŵömaru berhasil dikalahkan, dan akhirnya dibunuh.
Dari beberapa versi yang ditranskripsi pada waktu berbeda, terlihat dualisme asal-usul Laoŵömaru. Dalam transkripsi tahun 1881 (versi Chatelin) dan tahun 1911 (versi de Zwaan) terindikasi bahwa Laoŵömaru berasal dari Bugis. Namun, transkripsi tahun 1923 (versi Sundermann) disebutkan dia keturunan Lahari. Hikayat Laoŵömaru berbentuk hoho yang ditranskripsi Zebua (1978:70-71) juga menyebutkan Laoŵömaru adalah keturunan Lahari. Dalam cerita rakyat Nias, diketahui Lahari Sifusö Kara adalah salah satu putra Sirao. Ini menunjukkan Laoŵömaru berasal dari Nias.
Dengan demikian, berkaitan dengan asal-usul Laoŵömaru, ternyata legenda ini mengandung dua versi sejarah masyarakat, dari Bugis dan dari Nias. Artinya, legenda Laoŵömaru memiliki dua kolektif pendukung, baik keturunan leluhur Bugis maupun leluhur Nias. Cerita rakyat ini secara kronologis mengindikasikan adanya difusi keturunan etnis Bugis dan etnis Nias di Tanö Niha dahulu kala.
2.Hikaya Nononiha Nidunö-du
Bakha ba mbuku Famareso Ngawalö Huku Föna Awö Gowe Nifasindro ba Danö Nias, nifa’anö Dr M.G. Thomsen, tete 10, imane wanguma’ö: Heza i’o`tarai Soi Nono Niha. Balö tatu nasa irugi ma’öchö. Hasinahö dödö zi so. Si ndruhu ha sambua soi ira, si no faehu ba soi tanö bö`ö simane Batak, Aceh, Minangkabau ba tanö bö’ö nia na, he dali ngawalö huku ba hikaya, he dali dandratandra mboto ba he dali li….
Ba no tatu sa’atö wa fao Soi Nono Niha ha gangowuloa Soi Indonesia nifotöi Altvoiker Indonesia, eluaha nia Soi Sagatua, me oroma göi zi fachili- chili tandra ba mbotora, he huku ba he li, Ha sara dödö ndra ahli etnologifefu wa soi andre sawu’a moroi ba danö Tionghoa Raya simumalö ba Asia Tenggara ba ginötö ± sarangahönö fache döna wa’atumbu Keriso.
Molo`ö DR. Marshall ba mbuku nia Metallur-gieund Frube Besiedlung Indonesiens (1968), itutunö na dali wa mare so nia niha sawu’a andrö, ba no to’ölö ira sa’ae monowi ba wananö fache, mangambuchi si’öli, ma mözi ana’a ba mananö ohi bamo gowi. No so göi ba gotaluara zamasindro gowe molo`ö hukura. Te no f’ao Nono Niha ba gotalua soi sagawu’a andrö. Me’ ofeta ira ba Hulo Niha (he lö ato ira), ba labörötaigö wombabaya halöwöra molo`ö si no to`ölö ira ba danö ni’otaraira.
Simanö göi molo’ö F’.M. Schnitger bacha ha mbuku nia Fogetten Kingdoms, ha niha zi fachili-chili ba huku Nono Niha (famasindro gowe sifachai ba gowasa) ya`ia da`ö huku Niha Naga ba Khassi si so ba danö Assam – Burma. Molo`ö si so ba dödö nia, zi hasambua naha ma tanö mege la`otarai soi sidombua andrö.
Fanutunö Zatua
Molo’ö fanutunö zatua Nono Niha föna ha niha mböröta niha ba danöda. Me lö na sa la’ila manura ba ha faoma li ngawalö nidunödunö gofu hadia ia chöra. Duma-duma nia, si mane hikaya, hoho, hada ba gorahua ma ba gowuloa, huku ba mbanua.
Börö me tohare Niha Ulandro ba he goi Zending Geremani ni borotaigö wama’anö ni’ombacha’ö ma nirongo-rongora. La fa’anö ba mbuku. Börö me lö ha’uga oya ni’ilara li ba he göi huku Nono Niha, fa me’era ba mbuku ha ma’ifu sibai.
Awena ba ginötö Tua Thomas, Kramer, Sunderman, Lagemann ba Fries zangowuloi hikaya hikaya, amaedola ba huku mbanua. He wa’ae hatö fa zambua tö zitoröi mbuku nisurara andrö, ba irugi ia da’a na sa so mbuku andrö.
Baero Zanding Geremani, famareta Ulandro ya’ia da’ö Contoleur K.E.W.G. Schroder si no erai toröi ba Dano Niha i’otarai ndröfi 1904 irugi ndröfi 1910, zamareso Hulo Nono Niha ma’afefu. Angowuloa wamaresonia, ya’ia da’ö tefa’anö hacha ba mbuku Nias Ethnographische. Buku da’ö abölö ebua moroi ba mbuku nifa`anö nöra Tua tanö bö`ö.
Oya ngawalö hikaya zitesöndra na dali mböröta niha ba danö Niha. Ba’arakhagö fagölögölö hikaya wanguma’ö: Ono Niha si’oföna nidada moroi ba Dete Höli Ana’a. Tanö si sagörö tou andre, no la haogö wamazöchi ira Tua moroi yawa, ena’ö tola auri niha ba da’ö.
Si’oföna ladada, ya’ia Hi a Walangi Adu. Nahania ladada ba Zifalagö Gomo ia da’a, ma tetötöi ia föna Mbörönadu. Terongo göi mbanua Mazingö Gomo ba hikaya andrö ösa. Me ladada Gözö si yöu ba gaechula ba nasi. Ba’ena’o lö manaere danö ma hulo, andrö lafailo Daeli ba gatumbucha, ba Hulu ha gaekhula Danö Niha. Na tafaigi ngawalö nidunödunö andrö, ba aboto sibai ba dödöda wa lö fagögölögölö hikaya-hikaya wanutunö.
Haega moroi ba ma’uwu Luamewöna Silögu te’ombacha’ö nasa, wa ladada ia moroi ba Dete Holi Ana’a ofeta tou ba Mbörönadu. La’ila na sa la’oroma’ö naha mado Zebua ba gambara, ba mbanua Mbörönadu me föna.
Banua Sifalago Gomo, ma Börönadu, ba so na sa irugi ma’öchö. Niha sowanua ba da’ö ba ya’ira mado Hia. Ha sara manö dödö zanutunö hikaya wa ya’ia mbanua si oföna ba Nono Niha ba wa moroi ba mbanua Mbörönadu ibörögö muzawili niha mi sa ba zi sagörö Hulo Danö Niha. Numalö ba dalu danö zi oföna, awena miraya. aefa da’ö ba gaechula, ba mi yöu göi ösa ba wanarura banua sibohou.
Nidunoduno zatua föna ba Mbörönadu, ba ya’ia hikaya Duada Hia, Latutunö chö Tua Thomsen me döfi 1935, ya’ia da’ö itutunö chönia Tambalina Tuha Ana’a (Fangulu Idanö), ba awena lafa’anö ba zura. Börö wasuwöta, salina nisöndra doto Thomsen no taya. Ba me no aefa wasuwöta, Thomsen isöndra mangawuli salina nibe’e Rasoli Hia, ma’uwu Dambalina Tuha Ana’a.
He wa’ae lö oya sibai nidunödunö, ba na lafaigi si no mube’e ba zura irugi ma’öchö, ba lö fagölögölö sibai. Fabö’öbö’ö niwa’ö ba fabö’ö goi gera’era zamösana
ösi nidunödunö Tambalina Tuha Ana’a andrö, ba ya’ia da’ö wangombacha hewisa me tumbu Hia, me ladada ia halöwönia tou ba danö awö gochötania irugi wa’amatenia.
Si’otarai mbanua si yawa ba latötöi ha datölu warugi Hia “Daulu Sagörö si tumbu moroi ba nangi; ba ihalö wo’omonia Zotöla Gana’a, ono Orahua Zoya, si tumbu moroi ha nangi göi. Mo’ono ira Ara Foriwu Zihönö, fo’omonia Fuci Ta’oranö Usö, ono Dua Oroi ba Regerege Da’o. Onora ya’ia Langi Sagörö sangai dania fo`omonia Gaweda Nazariata Langi Ono matua si tumbu chöra dania, ya’ia da’ö Hia Walangi Adu.
Tabina ninania ba tenga simanö sito’ölö. Notoröi nono ba dalu ninania me ziwa fache wa’ara, ba’i’ila muhede sa’ae ba dalu ninania. I’ombacha`ö hewisa wame`e böröta danö sitou. I’andrö ena’ö iahalö ndra’i mbu ninania Nazariata Langi, lakaoni Mazai Sobaya Wö röcha ba wamazöchi tanö, ba lafailo nono sia’a chö langi Sagörö, Nazuwa Danö, Danedane Danö, ba ladada nasa sita simatua silötönia. Ere simaniga Razo zanofi tanö si sagörö. Me no awai fefu, ba tebato wehede Hia ha dalu ninania irugi inötö wa’atumbunia. Lo’itörö lala sito’ölö na tumbu niha, itörö wela-wela dödö ninania.
Me’ebua Hia Walangi Adu, ba ihalö fo’omonia Buruti Huna, ono Mali ba Wasulöna Danö. Awena i’andrö chö namania Langi Sagörö, ena’ö itörö sa’ae ni’ombacha’önia ba dalu ninania, wa lafailo ia tou tanömö niha ba danö. Fao chönia ena’ö nomo, osali, lafaogö göi gafore, tumba da tanö bö’önia na, ba laf’aogö göi ziambu Aya Langi.
I’andrö göi zawuyu ba nomo. Ba maoso Mali ba Wasulöna Danö, ifazöchi zihulö niha moroi ba lewuö, eu, la`uri ba ache, sitobali sawuyu Hia dania, dula’öfa niha wa’atora.
Awö Hia me ladada ia, ya’ia da’ö wo’omonia, ba baero da’ö geu Tora’a Langi, böröta zisiwa motöi. Ladada ira ba Zifalagö Gomo ma Börönadu andrö
Moroi ba Dora’a andrö itugu ara ba itugu aechu zi siwa motöi, ya’ia da’ö: ana’a, bawi, fache, gowi, manu, fino, tawuo, ohi ba bago.
Awena itaru`ö mbanua Hia Walangi Adu, ba if’a’anö fefu zi so chönia. Ya’ia zamatörö awönia ba ifobawalala chö gana’ania. Lafasindro nomora eu, la’uri mbawi, latanö wache, lalau gowasa, labözi gana’a, latoto gara ba wamazöchi behu, darodaro, harefa ba tanö bö’önia na. Chö namania Langi Sagörö sitoröi yawa ba Dete Höli Ana’a, ibe’e nadu eu, adu zatua, Hia Walangi Adu.
Dasiwa nonomatua chö Hia, ba latörötöröi mi sa danö ba hulo tanö bö’önia. Aefa wa’amate namara Hia, ba labe’e dödönia ba zi sambua guri, ena’ö toröi ia na sa ba nomo ba wame’e menemene chö ndraono nia. Ba börö me fa’udu ira dödö Hia ba ndronga owöliwa, Raina Huna, andrö ilau mofanö tödö Hia: Fao ba molö sebua itörö Gomo, Susua, itörö nasi irugi siyefo chö nononia alawe.
Söchi na asese taba so zura nidunö andre ba tanö bö’önia, era’era satua Nono Niha, nihaogö wanötöna ba li niha.
Sumber: Majalah Suara Ya`ahowu, No. 04/Th.I/September 1996
3.Sowanua dan Nadaoya Manusia Pertama Penghuni Pulau Nias?
Patung leluhur batu pria
Pendeta dan drum serta patung untuk sesaji
Patung Leluhur Hiligowe
Mungkin sebuah altar leluhur, bentuk: kursi dengan kepala Lasara di satu sisi dan ekor vertikal di bagian belakang (Feldman et al,. 1990:230) .. Altar leluhur, di sebuah tiang, dengan batu besar yang berdiri di sekitarnya
sumber: http://collectie.tropenmuseum.nl/
Sowanua dan Nadaoya Manusia Pertama Penghuni Pulau Nias?Agustus 2, 2007
Sowanua atau Bela
Sowanua yang berarti makhluk halus yang berdiam di atas pohon-pohon raksasa lebih dikenal oleh masyarakat di Nias Selatan khususnya Telukdalam hingga kini. Di Nias Utara, tengah dan Barat menyebut makhluk halus tersebut Bela atau Ono Mbela (anak Bela). Namun Sowanua dalam pengertian penduduk asli, secara umum dipahami di seluruh pulau Nias.
Banyak sekali catatan hitam mengenai Sowanua atau Bela dalam kaitannya dengan makhluk halus. Diceritakan bahwa mereka ini tinggal di atas pohon-pohon raksasa seperti pohon beringin (Eho, Ewo, Eo, Awöni) atau pohon Böwö. Jadi boleh di katakan bahwa di mana ada hutan lebat, di situlah habitat Sowanua atau Bela berkembang. Kebiasaan mereka untuk tinggal di atas pohon, bisa jadi ada hubungannya dengan nama-nama kampung tua seperti Tetegewo, Sisobamböwö, Hiligeho atau nama kerajaan Teteholi Ana’a.
Masih dipercayai juga oleh masyarakat Nias dulu bahwa Sowanua atau Bela merupakan pemilik atau penguasa segala marga satwa (Sokhö utu ndru’u), misalnya: babi hutan, kijang, rusa kancil, landak, tenggiling, berbagai unggas dan lain-lain). Babi hutan merupakan babi piaraan mereka. Oleh karenanya para pemburu satwa (Sialu/si möi malu), sebelum melakukan perburuan, mereka harus minta izin dari Sowanua sebagai pemilik segala marga satwa tersebut. Kepada mereka diberi persembahan (Be’elö/fasömbata) agar mereka dapat mengizinkan para pemburu untuk mengambil atau memburu satwa piaraannya.
Persembahan dilakukan dalam bentuk ritus dengan menyembelih seokor babi. Juga diberikan telur atau ayam, sirih dan lempengan-lempengan kuningan atau logam, pengganti emas sebagai penghormatan bagi mereka yang tinggal di atas pohon (sumange zi so ba hogu geu). Sowanua dikategorikan sebagai dewa hutan yang bertakhta di atas pohon (salawa hogu geu). Mereka juga kadang dilukiskan sebagai leluhur orang jahat (uwu gafökha).
Juga diceritakan bahwa Sowanua berkulit putih dan mulus. Mereka cantik-cantik dan memiliki pengetahuan membuat api dari kayu (fuyu) atau dari batu api (batu alitö). Dari mereka sumber keahlian pembuatan api.
Cerita-cerita yang lebih seram lagi mengenai Sowanua atau Bela adalah ketika perempuan tinggal seorang diri di hutan atau di kebun yang sepi, bisa saja secara tiba-tiba dan tak sadar disembunyikan atau dibawa lari oleh Sowanua. Menurut cerita, orang yang dibawa oleh Sowanua, tiba-tiba hilang kesadarannya. Ia bisa melihat dan berkomunikasi dengan Sowanua yang menculiknya, namun tidak dapat berkomunikasi dengan manusia biasa. Orang yang diculik oleh Sowanua masih bisa pulang dan kembali menjadi manusia normal.
Karena itu ada beberapa larangan dari orang-orangtua di Nias, misalnya: dilarang duduk atau tidur di bawah pohon besar, supaya tidak kena air kencing dari Bela (Sowanua) yang menimbulkan rasa gatal pada kulit. Anak-anak kecil atau bayi tidak boleh ditinggal sendirian di tempat yang sunyi, supaya tidak diculik oleh Bela. Anak-anak tidak boleh bermain sembunyi-sembunyi pada malam hari. Perempuan tidak boleh tidur sendirian di kebun atau di hutan yang sepi dan kalau terpaksa tidur, tidak boleh terlentang, katanya bisa disetubuhi oleh Sowanua.
Di desa-desa di pedalaman di Nias kita mendengar ceritera mengenai orang-orang yang pernah diculik oleh Sowanua, namun mereka kemudian kembali karena orang banyak (keluarga) mencarinya di hutan dengan cara memberi sesajen kepada Bela dan melakukan upacara ritual.
Konon ceritanya, jika bersama-sama dengan Sowanua, kita bisa berjalan ke mana saja dengan cepat bagaikan dibawa oleh angin. Kita tidak dapat dilihat oleh manusia biasa padahal kita dapat melihat dan mendengar suara mereka. Jika mereka memanggil-manggil nama kita, kita mendengarnya dan kita juga menjawab dengan teriakkan namun manusia biasa tidak dapat mendengarnya. Kita bagaikan berada dalam alam mimpi.
Setelah diberikan persembahan untuk meminta kepada Sowanua agar mengembalikan orang yang telah diculiknya kita baru mulai sadar, bisa didengar dan dilihat oleh orang lain yang sedang mencari kita.
Arti kata Sowanua dan Bela
Sowanua berasal dari dua kata yaitu So dan Banua (wanua). Ada dua arti so yaitu: ada dan pemilik atau penguasa. Banua (wanua) juga mempunyai dua arti yaitu: desa (kampung) dan langit (angkasa). Jadi Sowanua bisa berarti penduduk asli atau tuan rumah yaitu orang yang sudah kian ada pada suatu tempat sebelum orang lain datang.
Di Nias Selatan (Telukdalam) ‘Bela‘ berarti kawan atau sebutan yang menunjukkan tali persahabatan atau perkawanan. Tujuan penyebutan itu adalah untuk menjalin keakraban dan menghindari permusuhan. Sedangkan di wilayah Nias yang lain Bela berarti makhluk halus yang bertempat tinggal di atas pohon.
Cerita yang lebih menarik lagi adalah bahwa Sowanua atau Bela memiliki keturunan. Tapi tidak begitu ditonjolkan dalam penuturan sejarah asal usul masyarakat Nias. Kalau diselidiki pasti masih terdapat keturunan Sowanua atau Bela di Nias. Hanya kesulitannya adalah tidak ada yang mengaku bahwa mereka adalah keturunan Sowanua. Apalagi karena telah terjadi pembauran terutama melalui perkawinan di antara grup-grup etnis yang berbeda beda di Nias sejak zaman dulu ketika Bela masih dominan. Pasti masih ada juga orang yang bisa menceritakan eksistensi Sowanua dan siapa saja yang termasuk dalam keturunannya, akan tetapi tidak berani menceritakannya karena bisa merusak kerukunan antar etnis. Mereka menjaga rasa sensitivitas. Tidak mau membuat orang lain tersinggung atau direndahkan karena asal-usul, sehingga lama-kelamaan pula, perbedaan etnis itu sangat sulit diidentifikasi.
Sowanua dan Manusia Purba
Dari cerita di atas kita boleh menyimpulkan bahwa Sowanua bisa jadi bukanlah makhluk halus atau setan, tetapi merupakan sisa-sisa manusia purba yang sangat primitif dan masih menyatu dengan alam. Kemudian oleh etnis yang datang berikutnya menyebut mereka Sowanua atau Bela. Dari nama itu, kita bisa menyimpulkan lagi bahwa mereka adalah manusia yang telah duluan ada di pulau Nias jauh sebelum etnis berikutnya datang.
Sebutan Sowanua maupun Bela merupakan bukti pengakuan dan penghormatan pendatang bagi manusia-manusia primitif tersebut. Lama-kelamaan, zaman dan manusia semakin maju, lalu manusia primitif yang kalah bersaing dengan para pendatang baru yang memiliki berbagai keahlian dan pengetahuan, tidak berkembang lagi. Mereka semakin terdesak dan termarjinalkan sehingga mereka pun dianggap sebagai makhluk halus atau setan.
Jika kita menerima bahwa Sowanua atau Bela merupakan grup manusia yang telah mendiami pulau Nias sebelum datangnya etnis-etnis lain yang menamakan dirinya sebagai manusia tulen “Niha” atau ‘Ono Niha” (anak manusia) dengan membawa pengetahuan dan keahlian dari negeri asalnya di seberang sehingga mereka membawa pembaharuan dan kemajuan di Nias sebagaimana dikemukakan oleh Pastor Johannes (2001: 210), maka kita bisa menyimpulkan bahwa Sowanua atau Bela merupakan salah satu grup manusia purba yang sangat primitif di Nias dan merupakan salah satu grup leluhur masyarakat Nias.
sumber: http://mediawarisan.wordpress.com/2007/08/02/sowanua-dan-nadaoya-manusia-pertama-penghuni-pulau-nias/Last edited by MNGKRT; 23-04-2010 at 02:31 AM.. Reason: APDETMNGKRT is offline QUOTEMNGKRTView Public ProfileFind More Posts by MNGKRTUnread 22-04-2010, 09:50 PM #4MNGKRTkaskuser MNGKRT's Avatar UserID: 447227Join Date: Apr 2008Posts: 314MNGKRT tidak memiliki reputasi (sambungan)
Menurut informasi dari para informant Pastor Johannes (2001:50) bahwa terdapat 3 grup etnis yang berbeda di Nias, yaitu: (1) Niha Sebua Gazuzu, yaitu manusia yang memiliki kepala besar dan merupakan cirikhas manusia purba ribuan tahun yang lalu serta hidup di dalam gua sehingga mereka disebut manusia dari bawah tanah (soroi tou); (2) Niha Safusi yaitu grup manusia yang berkulit putih dan cantik yang berhabitat di atas pohon-pohon; (3) Lani Ewöna (sindruhu niha) yaitu manusia tulen yang datang dari seberang dengan keahlian dan pengetahuan yang memadai sehingga mereka memiliki pengaruh besar dan membawa perubahan di Nias. Grup etnis inilah yang kemudian dianggap sebagai leluhur masyarakat Nias dan menyebut diri sendiri sebagai Niha (manusia tulen) atau Ono Niha (anak manusia).
Nadaoya
Salah satu makhluk yang mungkin telah hidup bersamaan zaman dengan Sowanua sebagaimana dikemukakan di atas adalah manusia yang memiliki kepala besar yang tinggal di bawah tanah (barö danö) dalam pengertian di dalam gua. Berdasarkan ilmu arkeologi, sosiologi atau antropologi, manusia purba tinggal di dalam gua. Gua menjadi rumah mereka dan hidup sesuai dengan kondisi alam.
Dalam kepercayaan dan tradisi lisan Nias, sering diceritakan mengenai Nadaoya sebagai makhluk jahat atau setan raksasa (bekhu sebua). Suaranya besar sekali dan hanya satu-satu. Kalau mereka lewat dan bersentuhan dengan manusia, mereka langsung memangsanya dan manusia tersebut mati. Dikatakan juga bahwa Nadaoya tinggal di lembah-lembah yang dalam dan gelap serta di tebing sungai yang tinggi dan terjal. Habitat yang dimaksud menjurus pada gua-gua.
Mereka sungguh-sungguh jahat. Karena itu masyarakat Nias sangat takut menyebut nama Nadaoya apalagi kalau penyebutan itu karena hendak mengutuk seseorang dengan mengatakan: ya mu’a ö Nadaoya/ya mana ndraugö Nadaoya (Semoga Nadaoya mamangsa engkau). Ini ungkapan keras dan ditakuti orang.
Kalau kita mengkaji asal-usul masyarakat Nias, lalu kita menghubungkannya dengan bukti-bukti material dan tradisi lisan sebagaimana diceritakan di atas, maka pantas diduga dan membuka kemungkinan bahwa Nadaoya merupakan grup manusia purba yang berhabitat di dalam gua dengan ciri khas kepala besar, primitif dan menganut hukum rimba. Mereka juga sudah hadir di pulau Nias sebelum kedatangan etnis lain. Dengan demikian, mereka bukanlah setan raksasa. Mereka semakin ganas karena terpojok dan tidak memiliki tempat lagi untuk berkembang, karena alam telah dirusak oleh manusia yang memiliki pengetahuan.
Tulisan-tulisan lama dan otentik mengenai masyarakat Nias seperti ditulis oleh Pastor Johannes (2001:13-19) lebih banyak menguraikan munusia yang berkulit putih dan cantik-cantik yang berhabitat di atas pohon atau di puncak-puncak gunung. Juga dijelaskan kebiasaan berburu kepala manusia oleh penduduk setempat. Tetapi mengenai manusia yang tinggal di dalam gua-gua kurang disentuh.
Kepunahan Manusia Purba
Ada beberapa penyebab mengapa manusia purba di Nias menjadi punah, misalnya:
1. Hukum rimba
Manusia purba menganut hukum rimba. Siapa yang kuat, dialah yang yang hidup dan berkembang. Ketika etnik lain sebagai pendatang baru di Nias dengan berbagai pengetahuan dan keahlian datang, mereka jelas jauh lebih kuat dari para penghuni pulau Nias yang terdahulu. Sebab, mereka tidak hanya mengandalkan otot dalam menguasai alam untuk mempertahankan hidup, tetapi juga otak. Hukum rimba ini terlihat dari kebiasaan mereka berburu kepala manusia, sehingga kelompok yang lemah menjadi habis (punah). Selain berburu kepala manusia (mangai högö), permusuhan dan peperangan antar kelompok (kampung) sering terjadi, sehingga yang kuat bertahan hidup dan yang lemah menjadi punah.
Sisanya mengasingkan diri dan termajinalkan karena kalah bersaing dalam pembangunan dan pengembangan hidup. Mereka hanya mengadalkan alam yaitu hutan sebagai sumber kehidupan mereka. Mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan kondisi yang selalu berubah dan berkembang. Permusahan dan peperangan itu bisa juga terjadi karena perbedaan etnik.
2. Hutan habis
Berhubung karena manusia purba seperti kelompok Sowanua dan Nadaoya bergantung pada alam, ketika alam rusak dan hutan habis dibabat secara liar, maka habitat mereka semakin terjepit. Tidak ada tempat dan sumber makanan untuk dapat bertahan hidup. Maka mereka tidak berkembang.
3. Pembauran melalui perkawinan
Di antara kelompok manusia yang telah kian ada dengan pendatang baru, pasti telah terjadi perkawinan. Apa lagi seperti dijelaskan sebelumnya bahwa kelompok Sowanua itu cantik-cantik. Sudah barang tentu mereka dikawini secara suka atau tidak suka oleh pendatang yang lebih pintar. Mereka bagaikan gadis desa yang lugu tetapi cantik yang selalu menjadi incaran para pria dari kota sebagaimana terjadi pada zaman sekarang. Keturunan mereka tidak lagi disebut sebagai grup Sowanua/Bela atau Nadaoya, akan tetapi mengikuti garis keturunan kelompok manusia yang lebih berpengaruh dan berkuasa.
Darimanakah asalnya Sowanua dan Nadaoya?
Jika Sowanua dan Nadaoya adalah penghuni terdahulu pulau Nias, itu berarti bahwa keturunan mereka pasti masih ada sampai sekarang, walaupun mereka tidak lagi murni sebagai keturunan itu karena telah terjadi percampuran melalui proses perkawinan dengan etnis lain sejak ratusan tahun yang lalu. Untuk menyelidiki asal usul masyarakat Nias, maka harus ditelusuri dari mana asal Sowanua dan Nadaoya. Karena mereka-lah kelompok terbesar dan terdahulu yang menghuni pulau Nias. Hal inilah yang belum dilakukan oleh para peneliti. Mungkin bisa dijejaki melalui studi comparative linguistics atau penelitian DNA terhadap kelompok yang diduga sebagai asal-usul mereka dari luar negeri (Suku Belah di Sumatera, Suku Naga di India, dll) sebagaimana dikemukakan oleh Pastor Johannes.
Penelitian di Gua Tögi Ndrawa
Penelitian Museum Pusaka Nias bekerjasama dengan Drs. Yusuf Ernawan, M.Hum, ahli prasejarah dari Universitas Airlangga Surabaya di gua Tögi Ndrawa, desa Lelewönu Niko’otanö, kecamatan Gunungsitoli membuktikan bahwa gua tersebut telah dihuni oleh manusia purba sekitar 9000 tahun yang lalu, persis dari tahun 7570 ke 7145 SM (Lingua Nias, Media Warisan Edisi 39 hal 5).
Penelitian melalui ekskavasi dilanjutkan lagi oleh Badan Arkeologi Medan yang telah tiga kali melakukan ekskavasi sedalam 283 cm pada gua yang sama. Hasil dating penelitian ini masih ditunggu. Namun para ahli berasumsi bahwa gua tersebut telah dihuni sekitar 15.000 tahun yang lalu pada zaman Hoa Binh.
Penutup
Tradisi lisan Nias yang didukung oleh hasil penelitian tersebut dapat dijadikan sebagai indikasi dan dasar untuk menarik kesimpulan bahwa ada beberapa etnis yang berbeda di Nias. Yang terdahulu di antara mereka adalah kelompok Sowanua yang berhabitat di atas pohon dan grup Nadaoya dll (Laturedanö, Tuhanaröfa, Lowalani, Zihi, Sihambula) yang tinggal di dalam gua (arö danö). Sementara kelompok yang datang kemudian adalah etnis Cina dan etnis lain yang memulai perubahan dan perkembangan di pulau Nias karena pengetahuan dan keahlian yang telah mereka miliki dari negeri asalnya. Jadi anggapan bahwa Nadaoya dan Sowanua atau Bela adalah setan merupakan pemahaman manusia modern yang dangkal terhadap manusia purba yang hidupnya sangat primitif.
Penulis: Nata’alui Duha, S.Pd.
Wakil Direktur Museum Pusaka Nais
sumber: http://mediawarisan.wordpress.com/2007/08/02/sowanua-dan-nadaoya-manusia-pertama-penghuni-pulau-nias/
Pulau Nias dulu dan sekarang sangat banyak menarik kepentingan baik wisatawan dan antropolog karena arsitektur khusus dari desa-desa dan banyak patung-patung batu dan benda lainnya. Kombinasi yang juga ditemukan di tempat lain di Sumatera. Dalam foto itu digambarkan batu untuk kursi kepala desa. The raksasa yang menghiasi belakangnya, muncul sebagai elemen utama dalam paruh burung enggang. Tidak seperti 'tetangga' mereka, Mentawaiyang egaliter, Nias sangat teratur secara hirarkis. Hal ini terbukti dari kursi tinggi untuk bangsawan mereka. (P. Orchard, 2001). Bocah di sebelah kursi batu kepala desa Hilisimetano
Manusia di samping patung batu
Kuburan batu berbentuk piramida di Holi, Nias
Megalit di pinggir jalan, 1915-1932
sumber gambar: http://collectie.tropenmuseum.nl/
Sekelompok laki-laki Nias
Kepala Keluarga di Nias Utara
Objek dalam foto ini adalah pencatatan departemen foto seorang KIT 'lailuwo' disebut, dalam buku Museum Nusantara di Delft di Nias adalah kursi yang sama: osa'osa. Kursi adalah rakasa dan ekor, antaranya diduduki oleh seorang senior, kepala, dan oleh nenek moyang (1990:30) .. Batu kursi dalam bentuk hewan, Nias
Osa'osa dan seorang pria dengan kursi batu bulat yang seorang kepala desa di satu perayaan
sumber: http://collectie.tropenmuseum.nl/
4.MUSTIKA KELAPA NIAS TANONI
MISTERI MUSTIKA KELAPA
Batu mustika kelapa yang mirip dengan kentos kelapa berukuran minibanyak dibahas di Googledengan topik Mustika Kelapa . Topik ini sangat menarik untuk diangkat mengingat akhir-akhir ini banyak orang berkeliaran menawarkan batu mustika kelapa tersebut. Embel-embel ceritanya sangat beragam, ada yang konon didapat berkat petunjuk dalam mimpi, ada yang warisan dari kakek atau ayahnya kakek, ada yang dapat beli dari seorang tua yang kebetulan berpapasan di jalan, dan bahkan ada yang langsung nyomot sendiri dari dalam kelapa yang dibelah. Kalau kita simak artikel-artikel di Google, harga yang dipatok untuk sebutir mustika kelapa berkisar dari mulai Rp 2 juta , Rp 5 juta , Rp 20 juta , Rp 32 juta , dan bahkan sampai Rp 350 juta ( opo ora huebaat - - - ya ! ). Khasiatnya konon untuk membuat makanan tidak basi/ busuk sehingga sangat dianjurkan untuk dimiliki oleh para pebisnis catering.
Sehubungan dengan batu mustika kelapa tersebut, beberapa hari yang lalu, secara berturut-turut, mang Okim kedatangan dua grup tamu . Grup pertama minta dibuatkan sertifikat , dan grup kedua memperkenalkannya  ke mang Okim. Untuk grup pertama, alhamdulilah tidak ada masalah, tetapi untuk grup kedua, mang Okim dibikin terheran-heran karena mereka membawa sebutir kelapa betulan yang telah dibelah. Kelapa tersebut yang tampaknya baru dikeluarkan dari kulkas, mengandung sebutir mustika kelapa  yang tertanam di bagian matanya ( gambar 1 ). Tamu mang Okim membawa juga 2 butir mustika kelapa dan 2 butir mustika buah pala. Dengan alasan untuk ditunjukkan kepada para peminat, maka mang Okim mendapatkan izin untuk memotretnya.
Mustika kelapa asli ataukah rekayasa ?
Tadinya mang Okim mengira bahwa batu mustika kelapa yang warnanya putih seperti susu itu ( gambar 2 ) adalah milky quartz ( SiO2 ) yang kekerasannya 7 skala Mohs dan berat jenisnya sekitar 2,65. Tetapi hasil pemeriksaan mang Okim menunjukkan nilai kekerasan kurang dari 4 skala Mohs , dan berat jenis 2,84 . Yang lebih mengherankan lagi, mustika kelapa tersebut bereaksi dengan asam HCl. Dengan demikian maka tak terbantahkan lagi bahwa batu mustika kelapa tersebut adalah sejenis batuan karbonat ( CaCO3 ). Pertanyaannya kini, apakah mungkin bahwa mustika kelapa tersebut tumbuh dalam air kelapa yang tersusun dari air 95,5 % , nitrogen 0,05 %, asam fosfat 0,56 %, kalium 0,25 %, kalsium oksida 0,69 %, magnesium oksida 0,59 %, dan sedikit besi dan gula ? Tentunya hal ini sangat tepat kalau dijawab oleh ahli kimia.
Selain dari hal di atas, pada gambar 3 terlihat bagaimana kentos kelapa yang kekerasannya sekitar 3 skala Mohs itu , dengan dinding yang mengandung jalur-jalur vertical, tertanam dalam daging kelapa yang begitu lunak. Bagaimana ceritanya sampai tercipta jalur-jalur tersebut ? Untuk mengobati rasa penasaran, mang Okim periksa jalur-jalur tersebut dengan loupe 10 x, demikian juga bagian permukaan yang halus. Disinilah mang Okim lihat garis-garis pengerjaan gurinda dan ampelas yang khas. Dengan bukti-bukti ini maka yakinlah mang Okim bahwa batu mustika kelapa tersebut adalah karya seni dari seorang seniman batu. Apakah bukti ini dapat men-generalisir bahwa seluruh batu mustika kelapa yang beredar di Indonesia adalah hasil rekayasa ? Tentunya bukan itulah maksud mang Okim mengangkat kisah ini karena konon menurut cerita, ada juga batu mustika kelapa beneran di Pulau Nias, Sumatera Barat, dan di beberapa tempat lainnya ( perlu dibuktikan ).
Sebagai penutup mang Okim berharap semoga kisah ini dapat menambah wawasan rekan-rekan Gem-Lovers sehingga akan lebih waspada kalau mendapatkan tawaran batu mustika kelapa. Bagi yang kantongnya tebal seperti bang Gayus, tentulah tak ada masalah , tetapi bagi yang kantongnya pas-pasan - - - pastilah akan menyesal.
Salam cinta batumulia,
Mang Okim
LAMPIRAN GAMBAR :
Gambar 1: Batu mustika kelapa yang masih nempel di daging kelapanya. Â Empat butir mustika terdiri atas 2 mustika kelapa ( no.2 dan 4 dari kiri ), sedangkan 2 lainnya adalah mustika buah pala.
Gambar 2 : Inilah yang disebut batu mustika kelapa dengan pentil di bagian atas dan jalur vertical di bagian samping. Di permukaan yang halus terlihat bekas-bekas pengerjaan gurinda dan ampelas.
Gambar 3 : Batu mustika kelapa yang masih nempel dalam daging kelapanya ( di bagian mata kelapa ). Perhatikan hubungan jalur-jalur vertical dari mustika kelapa yang keras dan daging kelapa yang lunak.
5.Arti Pohon pada Masyarakat Nias Tanonih
Bagi warga Nias pohon tidak hanya sekedar berfungsi sebagai bahan bangunan, beberapa pohon tertentu memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Nias. Sayangnya keberadaan pohon-pohon ini juga bisa mengalami nasib yang sama seperti Simalambuo bila dari sekarang tidak dilakukan penanaman kembali. Berikut beberapa pohon yang diyakini masyarakat Nias mempunyai nilai tertentu dalam kehidupan.
Pohon Fosi1. Fõsi
Ba no tatu sa’atö wa fao Soi Nono Niha ha gangowuloa Soi Indonesia nifotöi Altvoiker Indonesia, eluaha nia Soi Sagatua, me oroma göi zi fachili- chili tandra ba mbotora, he huku ba he li, Ha sara dödö ndra ahli etnologifefu wa soi andre sawu’a moroi ba danö Tionghoa Raya simumalö ba Asia Tenggara ba ginötö ± sarangahönö fache döna wa’atumbu Keriso.
Molo`ö DR. Marshall ba mbuku nia Metallur-gieund Frube Besiedlung Indonesiens (1968), itutunö na dali wa mare so nia niha sawu’a andrö, ba no to’ölö ira sa’ae monowi ba wananö fache, mangambuchi si’öli, ma mözi ana’a ba mananö ohi bamo gowi. No so göi ba gotaluara zamasindro gowe molo`ö hukura. Te no f’ao Nono Niha ba gotalua soi sagawu’a andrö. Me’ ofeta ira ba Hulo Niha (he lö ato ira), ba labörötaigö wombabaya halöwöra molo`ö si no to`ölö ira ba danö ni’otaraira.
Simanö göi molo’ö F’.M. Schnitger bacha ha mbuku nia Fogetten Kingdoms, ha niha zi fachili-chili ba huku Nono Niha (famasindro gowe sifachai ba gowasa) ya`ia da`ö huku Niha Naga ba Khassi si so ba danö Assam – Burma. Molo`ö si so ba dödö nia, zi hasambua naha ma tanö mege la`otarai soi sidombua andrö.
Fanutunö Zatua
Molo’ö fanutunö zatua Nono Niha föna ha niha mböröta niha ba danöda. Me lö na sa la’ila manura ba ha faoma li ngawalö nidunödunö gofu hadia ia chöra. Duma-duma nia, si mane hikaya, hoho, hada ba gorahua ma ba gowuloa, huku ba mbanua.
Börö me tohare Niha Ulandro ba he goi Zending Geremani ni borotaigö wama’anö ni’ombacha’ö ma nirongo-rongora. La fa’anö ba mbuku. Börö me lö ha’uga oya ni’ilara li ba he göi huku Nono Niha, fa me’era ba mbuku ha ma’ifu sibai.
Awena ba ginötö Tua Thomas, Kramer, Sunderman, Lagemann ba Fries zangowuloi hikaya hikaya, amaedola ba huku mbanua. He wa’ae hatö fa zambua tö zitoröi mbuku nisurara andrö, ba irugi ia da’a na sa so mbuku andrö.
Baero Zanding Geremani, famareta Ulandro ya’ia da’ö Contoleur K.E.W.G. Schroder si no erai toröi ba Dano Niha i’otarai ndröfi 1904 irugi ndröfi 1910, zamareso Hulo Nono Niha ma’afefu. Angowuloa wamaresonia, ya’ia da’ö tefa’anö hacha ba mbuku Nias Ethnographische. Buku da’ö abölö ebua moroi ba mbuku nifa`anö nöra Tua tanö bö`ö.
Oya ngawalö hikaya zitesöndra na dali mböröta niha ba danö Niha. Ba’arakhagö fagölögölö hikaya wanguma’ö: Ono Niha si’oföna nidada moroi ba Dete Höli Ana’a. Tanö si sagörö tou andre, no la haogö wamazöchi ira Tua moroi yawa, ena’ö tola auri niha ba da’ö.
Si’oföna ladada, ya’ia Hi a Walangi Adu. Nahania ladada ba Zifalagö Gomo ia da’a, ma tetötöi ia föna Mbörönadu. Terongo göi mbanua Mazingö Gomo ba hikaya andrö ösa. Me ladada Gözö si yöu ba gaechula ba nasi. Ba’ena’o lö manaere danö ma hulo, andrö lafailo Daeli ba gatumbucha, ba Hulu ha gaekhula Danö Niha. Na tafaigi ngawalö nidunödunö andrö, ba aboto sibai ba dödöda wa lö fagögölögölö hikaya-hikaya wanutunö.
Haega moroi ba ma’uwu Luamewöna Silögu te’ombacha’ö nasa, wa ladada ia moroi ba Dete Holi Ana’a ofeta tou ba Mbörönadu. La’ila na sa la’oroma’ö naha mado Zebua ba gambara, ba mbanua Mbörönadu me föna.
Banua Sifalago Gomo, ma Börönadu, ba so na sa irugi ma’öchö. Niha sowanua ba da’ö ba ya’ira mado Hia. Ha sara manö dödö zanutunö hikaya wa ya’ia mbanua si oföna ba Nono Niha ba wa moroi ba mbanua Mbörönadu ibörögö muzawili niha mi sa ba zi sagörö Hulo Danö Niha. Numalö ba dalu danö zi oföna, awena miraya. aefa da’ö ba gaechula, ba mi yöu göi ösa ba wanarura banua sibohou.
Nidunoduno zatua föna ba Mbörönadu, ba ya’ia hikaya Duada Hia, Latutunö chö Tua Thomsen me döfi 1935, ya’ia da’ö itutunö chönia Tambalina Tuha Ana’a (Fangulu Idanö), ba awena lafa’anö ba zura. Börö wasuwöta, salina nisöndra doto Thomsen no taya. Ba me no aefa wasuwöta, Thomsen isöndra mangawuli salina nibe’e Rasoli Hia, ma’uwu Dambalina Tuha Ana’a.
He wa’ae lö oya sibai nidunödunö, ba na lafaigi si no mube’e ba zura irugi ma’öchö, ba lö fagölögölö sibai. Fabö’öbö’ö niwa’ö ba fabö’ö goi gera’era zamösana
ösi nidunödunö Tambalina Tuha Ana’a andrö, ba ya’ia da’ö wangombacha hewisa me tumbu Hia, me ladada ia halöwönia tou ba danö awö gochötania irugi wa’amatenia.
Si’otarai mbanua si yawa ba latötöi ha datölu warugi Hia “Daulu Sagörö si tumbu moroi ba nangi; ba ihalö wo’omonia Zotöla Gana’a, ono Orahua Zoya, si tumbu moroi ha nangi göi. Mo’ono ira Ara Foriwu Zihönö, fo’omonia Fuci Ta’oranö Usö, ono Dua Oroi ba Regerege Da’o. Onora ya’ia Langi Sagörö sangai dania fo`omonia Gaweda Nazariata Langi Ono matua si tumbu chöra dania, ya’ia da’ö Hia Walangi Adu.
Tabina ninania ba tenga simanö sito’ölö. Notoröi nono ba dalu ninania me ziwa fache wa’ara, ba’i’ila muhede sa’ae ba dalu ninania. I’ombacha`ö hewisa wame`e böröta danö sitou. I’andrö ena’ö iahalö ndra’i mbu ninania Nazariata Langi, lakaoni Mazai Sobaya Wö röcha ba wamazöchi tanö, ba lafailo nono sia’a chö langi Sagörö, Nazuwa Danö, Danedane Danö, ba ladada nasa sita simatua silötönia. Ere simaniga Razo zanofi tanö si sagörö. Me no awai fefu, ba tebato wehede Hia ha dalu ninania irugi inötö wa’atumbunia. Lo’itörö lala sito’ölö na tumbu niha, itörö wela-wela dödö ninania.
Me’ebua Hia Walangi Adu, ba ihalö fo’omonia Buruti Huna, ono Mali ba Wasulöna Danö. Awena i’andrö chö namania Langi Sagörö, ena’ö itörö sa’ae ni’ombacha’önia ba dalu ninania, wa lafailo ia tou tanömö niha ba danö. Fao chönia ena’ö nomo, osali, lafaogö göi gafore, tumba da tanö bö’önia na, ba laf’aogö göi ziambu Aya Langi.
I’andrö göi zawuyu ba nomo. Ba maoso Mali ba Wasulöna Danö, ifazöchi zihulö niha moroi ba lewuö, eu, la`uri ba ache, sitobali sawuyu Hia dania, dula’öfa niha wa’atora.
Awö Hia me ladada ia, ya’ia da’ö wo’omonia, ba baero da’ö geu Tora’a Langi, böröta zisiwa motöi. Ladada ira ba Zifalagö Gomo ma Börönadu andrö
Moroi ba Dora’a andrö itugu ara ba itugu aechu zi siwa motöi, ya’ia da’ö: ana’a, bawi, fache, gowi, manu, fino, tawuo, ohi ba bago.
Awena itaru`ö mbanua Hia Walangi Adu, ba if’a’anö fefu zi so chönia. Ya’ia zamatörö awönia ba ifobawalala chö gana’ania. Lafasindro nomora eu, la’uri mbawi, latanö wache, lalau gowasa, labözi gana’a, latoto gara ba wamazöchi behu, darodaro, harefa ba tanö bö’önia na. Chö namania Langi Sagörö sitoröi yawa ba Dete Höli Ana’a, ibe’e nadu eu, adu zatua, Hia Walangi Adu.
Dasiwa nonomatua chö Hia, ba latörötöröi mi sa danö ba hulo tanö bö’önia. Aefa wa’amate namara Hia, ba labe’e dödönia ba zi sambua guri, ena’ö toröi ia na sa ba nomo ba wame’e menemene chö ndraono nia. Ba börö me fa’udu ira dödö Hia ba ndronga owöliwa, Raina Huna, andrö ilau mofanö tödö Hia: Fao ba molö sebua itörö Gomo, Susua, itörö nasi irugi siyefo chö nononia alawe.
Söchi na asese taba so zura nidunö andre ba tanö bö’önia, era’era satua Nono Niha, nihaogö wanötöna ba li niha.
Sumber: Majalah Suara Ya`ahowu, No. 04/Th.I/September 1996
3.Sowanua dan Nadaoya Manusia Pertama Penghuni Pulau Nias?
Patung leluhur batu pria
Pendeta dan drum serta patung untuk sesaji
Patung Leluhur Hiligowe
Mungkin sebuah altar leluhur, bentuk: kursi dengan kepala Lasara di satu sisi dan ekor vertikal di bagian belakang (Feldman et al,. 1990:230) .. Altar leluhur, di sebuah tiang, dengan batu besar yang berdiri di sekitarnya
sumber: http://collectie.tropenmuseum.nl/
Sowanua dan Nadaoya Manusia Pertama Penghuni Pulau Nias?Agustus 2, 2007
Sowanua atau Bela
Sowanua yang berarti makhluk halus yang berdiam di atas pohon-pohon raksasa lebih dikenal oleh masyarakat di Nias Selatan khususnya Telukdalam hingga kini. Di Nias Utara, tengah dan Barat menyebut makhluk halus tersebut Bela atau Ono Mbela (anak Bela). Namun Sowanua dalam pengertian penduduk asli, secara umum dipahami di seluruh pulau Nias.
Banyak sekali catatan hitam mengenai Sowanua atau Bela dalam kaitannya dengan makhluk halus. Diceritakan bahwa mereka ini tinggal di atas pohon-pohon raksasa seperti pohon beringin (Eho, Ewo, Eo, Awöni) atau pohon Böwö. Jadi boleh di katakan bahwa di mana ada hutan lebat, di situlah habitat Sowanua atau Bela berkembang. Kebiasaan mereka untuk tinggal di atas pohon, bisa jadi ada hubungannya dengan nama-nama kampung tua seperti Tetegewo, Sisobamböwö, Hiligeho atau nama kerajaan Teteholi Ana’a.
Masih dipercayai juga oleh masyarakat Nias dulu bahwa Sowanua atau Bela merupakan pemilik atau penguasa segala marga satwa (Sokhö utu ndru’u), misalnya: babi hutan, kijang, rusa kancil, landak, tenggiling, berbagai unggas dan lain-lain). Babi hutan merupakan babi piaraan mereka. Oleh karenanya para pemburu satwa (Sialu/si möi malu), sebelum melakukan perburuan, mereka harus minta izin dari Sowanua sebagai pemilik segala marga satwa tersebut. Kepada mereka diberi persembahan (Be’elö/fasömbata) agar mereka dapat mengizinkan para pemburu untuk mengambil atau memburu satwa piaraannya.
Persembahan dilakukan dalam bentuk ritus dengan menyembelih seokor babi. Juga diberikan telur atau ayam, sirih dan lempengan-lempengan kuningan atau logam, pengganti emas sebagai penghormatan bagi mereka yang tinggal di atas pohon (sumange zi so ba hogu geu). Sowanua dikategorikan sebagai dewa hutan yang bertakhta di atas pohon (salawa hogu geu). Mereka juga kadang dilukiskan sebagai leluhur orang jahat (uwu gafökha).
Juga diceritakan bahwa Sowanua berkulit putih dan mulus. Mereka cantik-cantik dan memiliki pengetahuan membuat api dari kayu (fuyu) atau dari batu api (batu alitö). Dari mereka sumber keahlian pembuatan api.
Cerita-cerita yang lebih seram lagi mengenai Sowanua atau Bela adalah ketika perempuan tinggal seorang diri di hutan atau di kebun yang sepi, bisa saja secara tiba-tiba dan tak sadar disembunyikan atau dibawa lari oleh Sowanua. Menurut cerita, orang yang dibawa oleh Sowanua, tiba-tiba hilang kesadarannya. Ia bisa melihat dan berkomunikasi dengan Sowanua yang menculiknya, namun tidak dapat berkomunikasi dengan manusia biasa. Orang yang diculik oleh Sowanua masih bisa pulang dan kembali menjadi manusia normal.
Karena itu ada beberapa larangan dari orang-orangtua di Nias, misalnya: dilarang duduk atau tidur di bawah pohon besar, supaya tidak kena air kencing dari Bela (Sowanua) yang menimbulkan rasa gatal pada kulit. Anak-anak kecil atau bayi tidak boleh ditinggal sendirian di tempat yang sunyi, supaya tidak diculik oleh Bela. Anak-anak tidak boleh bermain sembunyi-sembunyi pada malam hari. Perempuan tidak boleh tidur sendirian di kebun atau di hutan yang sepi dan kalau terpaksa tidur, tidak boleh terlentang, katanya bisa disetubuhi oleh Sowanua.
Di desa-desa di pedalaman di Nias kita mendengar ceritera mengenai orang-orang yang pernah diculik oleh Sowanua, namun mereka kemudian kembali karena orang banyak (keluarga) mencarinya di hutan dengan cara memberi sesajen kepada Bela dan melakukan upacara ritual.
Konon ceritanya, jika bersama-sama dengan Sowanua, kita bisa berjalan ke mana saja dengan cepat bagaikan dibawa oleh angin. Kita tidak dapat dilihat oleh manusia biasa padahal kita dapat melihat dan mendengar suara mereka. Jika mereka memanggil-manggil nama kita, kita mendengarnya dan kita juga menjawab dengan teriakkan namun manusia biasa tidak dapat mendengarnya. Kita bagaikan berada dalam alam mimpi.
Setelah diberikan persembahan untuk meminta kepada Sowanua agar mengembalikan orang yang telah diculiknya kita baru mulai sadar, bisa didengar dan dilihat oleh orang lain yang sedang mencari kita.
Arti kata Sowanua dan Bela
Sowanua berasal dari dua kata yaitu So dan Banua (wanua). Ada dua arti so yaitu: ada dan pemilik atau penguasa. Banua (wanua) juga mempunyai dua arti yaitu: desa (kampung) dan langit (angkasa). Jadi Sowanua bisa berarti penduduk asli atau tuan rumah yaitu orang yang sudah kian ada pada suatu tempat sebelum orang lain datang.
Di Nias Selatan (Telukdalam) ‘Bela‘ berarti kawan atau sebutan yang menunjukkan tali persahabatan atau perkawanan. Tujuan penyebutan itu adalah untuk menjalin keakraban dan menghindari permusuhan. Sedangkan di wilayah Nias yang lain Bela berarti makhluk halus yang bertempat tinggal di atas pohon.
Cerita yang lebih menarik lagi adalah bahwa Sowanua atau Bela memiliki keturunan. Tapi tidak begitu ditonjolkan dalam penuturan sejarah asal usul masyarakat Nias. Kalau diselidiki pasti masih terdapat keturunan Sowanua atau Bela di Nias. Hanya kesulitannya adalah tidak ada yang mengaku bahwa mereka adalah keturunan Sowanua. Apalagi karena telah terjadi pembauran terutama melalui perkawinan di antara grup-grup etnis yang berbeda beda di Nias sejak zaman dulu ketika Bela masih dominan. Pasti masih ada juga orang yang bisa menceritakan eksistensi Sowanua dan siapa saja yang termasuk dalam keturunannya, akan tetapi tidak berani menceritakannya karena bisa merusak kerukunan antar etnis. Mereka menjaga rasa sensitivitas. Tidak mau membuat orang lain tersinggung atau direndahkan karena asal-usul, sehingga lama-kelamaan pula, perbedaan etnis itu sangat sulit diidentifikasi.
Sowanua dan Manusia Purba
Dari cerita di atas kita boleh menyimpulkan bahwa Sowanua bisa jadi bukanlah makhluk halus atau setan, tetapi merupakan sisa-sisa manusia purba yang sangat primitif dan masih menyatu dengan alam. Kemudian oleh etnis yang datang berikutnya menyebut mereka Sowanua atau Bela. Dari nama itu, kita bisa menyimpulkan lagi bahwa mereka adalah manusia yang telah duluan ada di pulau Nias jauh sebelum etnis berikutnya datang.
Sebutan Sowanua maupun Bela merupakan bukti pengakuan dan penghormatan pendatang bagi manusia-manusia primitif tersebut. Lama-kelamaan, zaman dan manusia semakin maju, lalu manusia primitif yang kalah bersaing dengan para pendatang baru yang memiliki berbagai keahlian dan pengetahuan, tidak berkembang lagi. Mereka semakin terdesak dan termarjinalkan sehingga mereka pun dianggap sebagai makhluk halus atau setan.
Jika kita menerima bahwa Sowanua atau Bela merupakan grup manusia yang telah mendiami pulau Nias sebelum datangnya etnis-etnis lain yang menamakan dirinya sebagai manusia tulen “Niha” atau ‘Ono Niha” (anak manusia) dengan membawa pengetahuan dan keahlian dari negeri asalnya di seberang sehingga mereka membawa pembaharuan dan kemajuan di Nias sebagaimana dikemukakan oleh Pastor Johannes (2001: 210), maka kita bisa menyimpulkan bahwa Sowanua atau Bela merupakan salah satu grup manusia purba yang sangat primitif di Nias dan merupakan salah satu grup leluhur masyarakat Nias.
sumber: http://mediawarisan.wordpress.com/2007/08/02/sowanua-dan-nadaoya-manusia-pertama-penghuni-pulau-nias/Last edited by MNGKRT; 23-04-2010 at 02:31 AM.. Reason: APDETMNGKRT is offline QUOTEMNGKRTView Public ProfileFind More Posts by MNGKRTUnread 22-04-2010, 09:50 PM #4MNGKRTkaskuser MNGKRT's Avatar UserID: 447227Join Date: Apr 2008Posts: 314MNGKRT tidak memiliki reputasi (sambungan)
Menurut informasi dari para informant Pastor Johannes (2001:50) bahwa terdapat 3 grup etnis yang berbeda di Nias, yaitu: (1) Niha Sebua Gazuzu, yaitu manusia yang memiliki kepala besar dan merupakan cirikhas manusia purba ribuan tahun yang lalu serta hidup di dalam gua sehingga mereka disebut manusia dari bawah tanah (soroi tou); (2) Niha Safusi yaitu grup manusia yang berkulit putih dan cantik yang berhabitat di atas pohon-pohon; (3) Lani Ewöna (sindruhu niha) yaitu manusia tulen yang datang dari seberang dengan keahlian dan pengetahuan yang memadai sehingga mereka memiliki pengaruh besar dan membawa perubahan di Nias. Grup etnis inilah yang kemudian dianggap sebagai leluhur masyarakat Nias dan menyebut diri sendiri sebagai Niha (manusia tulen) atau Ono Niha (anak manusia).
Nadaoya
Salah satu makhluk yang mungkin telah hidup bersamaan zaman dengan Sowanua sebagaimana dikemukakan di atas adalah manusia yang memiliki kepala besar yang tinggal di bawah tanah (barö danö) dalam pengertian di dalam gua. Berdasarkan ilmu arkeologi, sosiologi atau antropologi, manusia purba tinggal di dalam gua. Gua menjadi rumah mereka dan hidup sesuai dengan kondisi alam.
Dalam kepercayaan dan tradisi lisan Nias, sering diceritakan mengenai Nadaoya sebagai makhluk jahat atau setan raksasa (bekhu sebua). Suaranya besar sekali dan hanya satu-satu. Kalau mereka lewat dan bersentuhan dengan manusia, mereka langsung memangsanya dan manusia tersebut mati. Dikatakan juga bahwa Nadaoya tinggal di lembah-lembah yang dalam dan gelap serta di tebing sungai yang tinggi dan terjal. Habitat yang dimaksud menjurus pada gua-gua.
Mereka sungguh-sungguh jahat. Karena itu masyarakat Nias sangat takut menyebut nama Nadaoya apalagi kalau penyebutan itu karena hendak mengutuk seseorang dengan mengatakan: ya mu’a ö Nadaoya/ya mana ndraugö Nadaoya (Semoga Nadaoya mamangsa engkau). Ini ungkapan keras dan ditakuti orang.
Kalau kita mengkaji asal-usul masyarakat Nias, lalu kita menghubungkannya dengan bukti-bukti material dan tradisi lisan sebagaimana diceritakan di atas, maka pantas diduga dan membuka kemungkinan bahwa Nadaoya merupakan grup manusia purba yang berhabitat di dalam gua dengan ciri khas kepala besar, primitif dan menganut hukum rimba. Mereka juga sudah hadir di pulau Nias sebelum kedatangan etnis lain. Dengan demikian, mereka bukanlah setan raksasa. Mereka semakin ganas karena terpojok dan tidak memiliki tempat lagi untuk berkembang, karena alam telah dirusak oleh manusia yang memiliki pengetahuan.
Tulisan-tulisan lama dan otentik mengenai masyarakat Nias seperti ditulis oleh Pastor Johannes (2001:13-19) lebih banyak menguraikan munusia yang berkulit putih dan cantik-cantik yang berhabitat di atas pohon atau di puncak-puncak gunung. Juga dijelaskan kebiasaan berburu kepala manusia oleh penduduk setempat. Tetapi mengenai manusia yang tinggal di dalam gua-gua kurang disentuh.
Kepunahan Manusia Purba
Ada beberapa penyebab mengapa manusia purba di Nias menjadi punah, misalnya:
1. Hukum rimba
Manusia purba menganut hukum rimba. Siapa yang kuat, dialah yang yang hidup dan berkembang. Ketika etnik lain sebagai pendatang baru di Nias dengan berbagai pengetahuan dan keahlian datang, mereka jelas jauh lebih kuat dari para penghuni pulau Nias yang terdahulu. Sebab, mereka tidak hanya mengandalkan otot dalam menguasai alam untuk mempertahankan hidup, tetapi juga otak. Hukum rimba ini terlihat dari kebiasaan mereka berburu kepala manusia, sehingga kelompok yang lemah menjadi habis (punah). Selain berburu kepala manusia (mangai högö), permusuhan dan peperangan antar kelompok (kampung) sering terjadi, sehingga yang kuat bertahan hidup dan yang lemah menjadi punah.
Sisanya mengasingkan diri dan termajinalkan karena kalah bersaing dalam pembangunan dan pengembangan hidup. Mereka hanya mengadalkan alam yaitu hutan sebagai sumber kehidupan mereka. Mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan kondisi yang selalu berubah dan berkembang. Permusahan dan peperangan itu bisa juga terjadi karena perbedaan etnik.
2. Hutan habis
Berhubung karena manusia purba seperti kelompok Sowanua dan Nadaoya bergantung pada alam, ketika alam rusak dan hutan habis dibabat secara liar, maka habitat mereka semakin terjepit. Tidak ada tempat dan sumber makanan untuk dapat bertahan hidup. Maka mereka tidak berkembang.
3. Pembauran melalui perkawinan
Di antara kelompok manusia yang telah kian ada dengan pendatang baru, pasti telah terjadi perkawinan. Apa lagi seperti dijelaskan sebelumnya bahwa kelompok Sowanua itu cantik-cantik. Sudah barang tentu mereka dikawini secara suka atau tidak suka oleh pendatang yang lebih pintar. Mereka bagaikan gadis desa yang lugu tetapi cantik yang selalu menjadi incaran para pria dari kota sebagaimana terjadi pada zaman sekarang. Keturunan mereka tidak lagi disebut sebagai grup Sowanua/Bela atau Nadaoya, akan tetapi mengikuti garis keturunan kelompok manusia yang lebih berpengaruh dan berkuasa.
Darimanakah asalnya Sowanua dan Nadaoya?
Jika Sowanua dan Nadaoya adalah penghuni terdahulu pulau Nias, itu berarti bahwa keturunan mereka pasti masih ada sampai sekarang, walaupun mereka tidak lagi murni sebagai keturunan itu karena telah terjadi percampuran melalui proses perkawinan dengan etnis lain sejak ratusan tahun yang lalu. Untuk menyelidiki asal usul masyarakat Nias, maka harus ditelusuri dari mana asal Sowanua dan Nadaoya. Karena mereka-lah kelompok terbesar dan terdahulu yang menghuni pulau Nias. Hal inilah yang belum dilakukan oleh para peneliti. Mungkin bisa dijejaki melalui studi comparative linguistics atau penelitian DNA terhadap kelompok yang diduga sebagai asal-usul mereka dari luar negeri (Suku Belah di Sumatera, Suku Naga di India, dll) sebagaimana dikemukakan oleh Pastor Johannes.
Penelitian di Gua Tögi Ndrawa
Penelitian Museum Pusaka Nias bekerjasama dengan Drs. Yusuf Ernawan, M.Hum, ahli prasejarah dari Universitas Airlangga Surabaya di gua Tögi Ndrawa, desa Lelewönu Niko’otanö, kecamatan Gunungsitoli membuktikan bahwa gua tersebut telah dihuni oleh manusia purba sekitar 9000 tahun yang lalu, persis dari tahun 7570 ke 7145 SM (Lingua Nias, Media Warisan Edisi 39 hal 5).
Penelitian melalui ekskavasi dilanjutkan lagi oleh Badan Arkeologi Medan yang telah tiga kali melakukan ekskavasi sedalam 283 cm pada gua yang sama. Hasil dating penelitian ini masih ditunggu. Namun para ahli berasumsi bahwa gua tersebut telah dihuni sekitar 15.000 tahun yang lalu pada zaman Hoa Binh.
Penutup
Tradisi lisan Nias yang didukung oleh hasil penelitian tersebut dapat dijadikan sebagai indikasi dan dasar untuk menarik kesimpulan bahwa ada beberapa etnis yang berbeda di Nias. Yang terdahulu di antara mereka adalah kelompok Sowanua yang berhabitat di atas pohon dan grup Nadaoya dll (Laturedanö, Tuhanaröfa, Lowalani, Zihi, Sihambula) yang tinggal di dalam gua (arö danö). Sementara kelompok yang datang kemudian adalah etnis Cina dan etnis lain yang memulai perubahan dan perkembangan di pulau Nias karena pengetahuan dan keahlian yang telah mereka miliki dari negeri asalnya. Jadi anggapan bahwa Nadaoya dan Sowanua atau Bela adalah setan merupakan pemahaman manusia modern yang dangkal terhadap manusia purba yang hidupnya sangat primitif.
Penulis: Nata’alui Duha, S.Pd.
Wakil Direktur Museum Pusaka Nais
sumber: http://mediawarisan.wordpress.com/2007/08/02/sowanua-dan-nadaoya-manusia-pertama-penghuni-pulau-nias/
Pulau Nias dulu dan sekarang sangat banyak menarik kepentingan baik wisatawan dan antropolog karena arsitektur khusus dari desa-desa dan banyak patung-patung batu dan benda lainnya. Kombinasi yang juga ditemukan di tempat lain di Sumatera. Dalam foto itu digambarkan batu untuk kursi kepala desa. The raksasa yang menghiasi belakangnya, muncul sebagai elemen utama dalam paruh burung enggang. Tidak seperti 'tetangga' mereka, Mentawaiyang egaliter, Nias sangat teratur secara hirarkis. Hal ini terbukti dari kursi tinggi untuk bangsawan mereka. (P. Orchard, 2001). Bocah di sebelah kursi batu kepala desa Hilisimetano
Manusia di samping patung batu
Kuburan batu berbentuk piramida di Holi, Nias
Megalit di pinggir jalan, 1915-1932
sumber gambar: http://collectie.tropenmuseum.nl/
Sekelompok laki-laki Nias
Kepala Keluarga di Nias Utara
Objek dalam foto ini adalah pencatatan departemen foto seorang KIT 'lailuwo' disebut, dalam buku Museum Nusantara di Delft di Nias adalah kursi yang sama: osa'osa. Kursi adalah rakasa dan ekor, antaranya diduduki oleh seorang senior, kepala, dan oleh nenek moyang (1990:30) .. Batu kursi dalam bentuk hewan, Nias
Osa'osa dan seorang pria dengan kursi batu bulat yang seorang kepala desa di satu perayaan
sumber: http://collectie.tropenmuseum.nl/
4.MUSTIKA KELAPA NIAS TANONI
MISTERI MUSTIKA KELAPA
Batu mustika kelapa yang mirip dengan kentos kelapa berukuran minibanyak dibahas di Googledengan topik Mustika Kelapa . Topik ini sangat menarik untuk diangkat mengingat akhir-akhir ini banyak orang berkeliaran menawarkan batu mustika kelapa tersebut. Embel-embel ceritanya sangat beragam, ada yang konon didapat berkat petunjuk dalam mimpi, ada yang warisan dari kakek atau ayahnya kakek, ada yang dapat beli dari seorang tua yang kebetulan berpapasan di jalan, dan bahkan ada yang langsung nyomot sendiri dari dalam kelapa yang dibelah. Kalau kita simak artikel-artikel di Google, harga yang dipatok untuk sebutir mustika kelapa berkisar dari mulai Rp 2 juta , Rp 5 juta , Rp 20 juta , Rp 32 juta , dan bahkan sampai Rp 350 juta ( opo ora huebaat - - - ya ! ). Khasiatnya konon untuk membuat makanan tidak basi/ busuk sehingga sangat dianjurkan untuk dimiliki oleh para pebisnis catering.
Sehubungan dengan batu mustika kelapa tersebut, beberapa hari yang lalu, secara berturut-turut, mang Okim kedatangan dua grup tamu . Grup pertama minta dibuatkan sertifikat , dan grup kedua memperkenalkannya  ke mang Okim. Untuk grup pertama, alhamdulilah tidak ada masalah, tetapi untuk grup kedua, mang Okim dibikin terheran-heran karena mereka membawa sebutir kelapa betulan yang telah dibelah. Kelapa tersebut yang tampaknya baru dikeluarkan dari kulkas, mengandung sebutir mustika kelapa  yang tertanam di bagian matanya ( gambar 1 ). Tamu mang Okim membawa juga 2 butir mustika kelapa dan 2 butir mustika buah pala. Dengan alasan untuk ditunjukkan kepada para peminat, maka mang Okim mendapatkan izin untuk memotretnya.
Mustika kelapa asli ataukah rekayasa ?
Tadinya mang Okim mengira bahwa batu mustika kelapa yang warnanya putih seperti susu itu ( gambar 2 ) adalah milky quartz ( SiO2 ) yang kekerasannya 7 skala Mohs dan berat jenisnya sekitar 2,65. Tetapi hasil pemeriksaan mang Okim menunjukkan nilai kekerasan kurang dari 4 skala Mohs , dan berat jenis 2,84 . Yang lebih mengherankan lagi, mustika kelapa tersebut bereaksi dengan asam HCl. Dengan demikian maka tak terbantahkan lagi bahwa batu mustika kelapa tersebut adalah sejenis batuan karbonat ( CaCO3 ). Pertanyaannya kini, apakah mungkin bahwa mustika kelapa tersebut tumbuh dalam air kelapa yang tersusun dari air 95,5 % , nitrogen 0,05 %, asam fosfat 0,56 %, kalium 0,25 %, kalsium oksida 0,69 %, magnesium oksida 0,59 %, dan sedikit besi dan gula ? Tentunya hal ini sangat tepat kalau dijawab oleh ahli kimia.
Selain dari hal di atas, pada gambar 3 terlihat bagaimana kentos kelapa yang kekerasannya sekitar 3 skala Mohs itu , dengan dinding yang mengandung jalur-jalur vertical, tertanam dalam daging kelapa yang begitu lunak. Bagaimana ceritanya sampai tercipta jalur-jalur tersebut ? Untuk mengobati rasa penasaran, mang Okim periksa jalur-jalur tersebut dengan loupe 10 x, demikian juga bagian permukaan yang halus. Disinilah mang Okim lihat garis-garis pengerjaan gurinda dan ampelas yang khas. Dengan bukti-bukti ini maka yakinlah mang Okim bahwa batu mustika kelapa tersebut adalah karya seni dari seorang seniman batu. Apakah bukti ini dapat men-generalisir bahwa seluruh batu mustika kelapa yang beredar di Indonesia adalah hasil rekayasa ? Tentunya bukan itulah maksud mang Okim mengangkat kisah ini karena konon menurut cerita, ada juga batu mustika kelapa beneran di Pulau Nias, Sumatera Barat, dan di beberapa tempat lainnya ( perlu dibuktikan ).
Sebagai penutup mang Okim berharap semoga kisah ini dapat menambah wawasan rekan-rekan Gem-Lovers sehingga akan lebih waspada kalau mendapatkan tawaran batu mustika kelapa. Bagi yang kantongnya tebal seperti bang Gayus, tentulah tak ada masalah , tetapi bagi yang kantongnya pas-pasan - - - pastilah akan menyesal.
Salam cinta batumulia,
Mang Okim
LAMPIRAN GAMBAR :
Gambar 1: Batu mustika kelapa yang masih nempel di daging kelapanya. Â Empat butir mustika terdiri atas 2 mustika kelapa ( no.2 dan 4 dari kiri ), sedangkan 2 lainnya adalah mustika buah pala.
Gambar 2 : Inilah yang disebut batu mustika kelapa dengan pentil di bagian atas dan jalur vertical di bagian samping. Di permukaan yang halus terlihat bekas-bekas pengerjaan gurinda dan ampelas.
Gambar 3 : Batu mustika kelapa yang masih nempel dalam daging kelapanya ( di bagian mata kelapa ). Perhatikan hubungan jalur-jalur vertical dari mustika kelapa yang keras dan daging kelapa yang lunak.
5.Arti Pohon pada Masyarakat Nias Tanonih
Bagi warga Nias pohon tidak hanya sekedar berfungsi sebagai bahan bangunan, beberapa pohon tertentu memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Nias. Sayangnya keberadaan pohon-pohon ini juga bisa mengalami nasib yang sama seperti Simalambuo bila dari sekarang tidak dilakukan penanaman kembali. Berikut beberapa pohon yang diyakini masyarakat Nias mempunyai nilai tertentu dalam kehidupan.
Pohon Fosi1. Fõsi
Pohon yang menjulang tinggi ini dalam bahasa daerah Nias disebut Fõsi. Pohon yang belum diketahui bahasa Indonesia ini hanya ditemukan di daerah Nias Selatan. Sekilas bentuk daun dan batangnya seperti pohon kedondong.
Pada zaman dulu sebelum agama masuk, pohon Fõsi dianggap sebagai pohon keramat bagi masyarakat setempat yang diyakini mampu meramal tentang masa depan. Misalnya bila salah satu dahannya patah, itu berarti ada anggota keluarga bangsawan yang akan meninggal. Selain itu, pohon Fõsi juga dijadikan sebagai tanda kemakmuran suatu desa yang akan dibentuk.
“Jika disuatu daerah akan dibangun sebuah desa maka disitu akan ditanam Fõsi. Bila Fõsi tumbuh subur itu menandakan bahwa desa tersebut akan makmur sementara hal sebaliknya akan terjadi bila Fõsi tidak dapat tumbuh dengan baik,” tutur Ibu Lusia Sutrisni Telaumbanua (40), salah seorang staf Museum Pusaka Nias yang khusus membidangi flora dan pembudidayaan tanaman tradisional.
Menurut ibu Lusia, belum diketahui pasti apakah pohon yang satu ini hanya ditemukan didaerah Nias Selatan sebab menurut kabar, pohon ini juga ditemukan didaerah perbatasan kecamatan Idanõgawo Kabupaten Nias. Jumlahnya juga sangat sedikit.
Berbagai macam cerita yang muncul seputar keberadaan pohon Fõsi serta maknanya bagi masyarakat Nias membuat ibu Lusia giat untuk menggali informasi yang lebih dalam. “Saat ini saya mencoba untuk menulis tentang pohon Fõsi ini selain untuk mengetahui lebih banyak lagi juga agar pohon ini semakin dikenal oleh masyarakat secara luas,” ujarnya.
Belum diketahui bagaimana cara pembibitan pohon yang satu ini. Namun hal terpenting yang harus diperhatikan dalam menanam pohon Fõsi adalah media tanam haruslah menggunakan tanah yang subur. Bila tidak, pertumbuhannya sedikit terhambat.
2. BeruaPohon Berua diduga sejenis pohon manggis karena memiliki bentuk daun dan buah seperti manggis meski untuk buahnya berukuran lebih kecil, kulitnya berwarna merah dan rasanya asam.
Bibit Pohon BeruaPohon yang dikenal kuat dan tahan air ini biasanya digunakan sebagai bahan pembuatan kapal. Karena kayunya yang sangat keras maka pohon Berua sering dipilih sebagai nama desa atau kecamatan yakni Tuhemberua karena dianggap sebagai lambang kekuatan. Seperti kecamatan Tuhemberua di kabupaten Nias Utara dan desa Tuhemberua di kota Gunungsitoli.
3. BoliPohon Boli yang dalam bahasa Indonesia disebut pohon Lanang ini banyak tersebar diseluruh daerah di Pulau Nias. Selain karena berfungsi sebagai tanaman obat, pohon Boli juga mudah untuk dibudidayakan.
Daun pohon Boli memiliki khasiat untuk penurun demam dengan cara meminum air perasan daunnya atau dengan menggunakan air rebusan daunnya untuk air mandi.
Sementara untuk batangnya, pohon Boli dipercaya sebagai penangkal petir dan pendingin rumah sehingga pada saat masyarakat Nias membangun rumah, sudah menjadi tradisi bila batang pohon Boli harus diletakkan dibubungan rumah.
4. Pohon Muru-muruPohon yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan nama pohon Kelor ini sangat sulit ditemui. Pohon yang daunnya sangat berkhasiat untuk menguatkan rahim, pendingin perut dan penurun panas ini memang tidak tumbuh sembarangan.
Sifatnya yang tumbuh tidak sembarangan ini bukan dipengaruhi oleh media tanamnya tetapi lebih kepada cara penananam dan perlakuan terhadap pohon Muru-muru. Sulitnya membudidayakan pohon tersebut menimbulkan suatu kepercayaan yakni bila seseorang berhasil menanamnya itu berarti orang tersebut adalah seseorang yang bertangan dingin terutama dalam bercocok tanam.
Selain itu ada beberapa jenis pohon lainnya yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat Nias baik untuk bahan bangunan maupun untuk kebutuhan lainnya. Pohon yang biasanya digunakan sebagai bahan bangunan yakni Hoya (Nibung), Afoa (Selasihan), Manawa, Bayo, Godu dan Simalaeso.
Ada juga pohon Oholu yang kulitnya dimanfaatkan sebagai pembuatan baju pada jaman dulu dan pohon Ewo (sejenis beringin) yang akarnya digunakan sebagai pengikat beban dan alas periuk tanah.
Perlu Dilestarikan
Pohon BoliDari paparan diatas, nyata betul bahwa pohon memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat Nias. Dapat disimpulkan, fungsi pohon itu ada empat yakni sebagai penjaga keseimbangan alam dan udara, sebagai bahan bangunan, sebagai sebuah lambang serta sebagai sumber pengobatan.
Sayangnya, keempat fungsi ini masih belum disadari sepenuhnya oleh masyarakat sehingga perilaku untuk “gunakan terus” tanpa melakukan penanaman kembali tetap terjadi. Misalnya saja pohon Hoya (Nibung) yang sangat diperlukan untuk pembangunan rumah adat.
“Mungkin diperlukan peran pemerintah atau lembaga tertentu untuk menyosialisasikan kepada masyarakat akan pentingnya pelestarian pohon,” ujar Ibu Lusia.
Selain itu menurut Ibu Lusia, rendahnya partisipasi masyarakat dalam melakukan pelestarian pohon adalah kurangnya motivasi masyarakat untuk membudidayakan pohon. Hal ini mungkin dikarenakan pembudidayaan pohon yang membutuhkan waktu yang lama sehingga membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Berangkat dari kendala tersebut, momen hari Pohon 21 November 2011 hendaknya dijadikan sebagai awal bagi masyarakat dan pemerintah untuk bersama-sama memikirkan pelestarian pohon yang sangat diperlukan oleh masyarakat kita sendiri. Penanaman pohon sebaiknya dilakukan sejak dini agar jangan sampai jumlah pohon yang ada semakin berkurang hanya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. (ANOVERLIS HULU)
6.“ÖRI” dan Gelang Sakti Nias Tanôniha
" Öri dsöghà " sebuah cincin metal pada taring seekor babi hutan. Cincin tersebut merupakan ‘jimat kekebalan’ yang sangat kuat.
Suatu ketika Willem Leonard Steinhart menemukan syair hoho (puisi) yang relatif kuno. Di dalamnya terkandung kata öri, yaitu: Na ma nahiāgoe wa’aloemāna, Ma so chôgoe ba nôri ba dza’a [sic.].
Steinhart (1937:109) menerjemahkan syair tersebut ke dalam bahasa Belanda, De armoede zal het mij toegewezen lot zijn, Het stond reeds in het maantje mijner nagels te lezen (kemiskinan merupakan nasibku, nasib ini sudah terbaca dalam bagian bentuk bulan pada kuku saya). Apa hubungannya, kuku dengan öri?
Steinhart menjelaskan, ôri is hier waarschijnlijk “het maanvormige plekje op de nagels”. Men gebruikt het echter niet meer in dien zin. Dat plekje noemt men nu bôrô dza’a (öri di sini kemungkinan “bagian kuku seperti bulan”. Namun, sekarang orang tidak lagi menggunakan kata itu dalam makna ini. Karena bagian itu sekarang disebut sebagai börö za’a). Rupanya, makna purba (sekurangnya dalam puisi) dari öri adalah ‘bagian putih (mirip bulan sabit) pada pangkal kuku’. Pada awal abad ke-20, ketika Steinhart menulis buku Niassche Teksten, makna tersebut sudah lenyap.
Ada ‘makna öri’ yang lain. Steinhart (1937:53) menulis, sanôri gāhe, sanôri dāna “klimstrik om voeten en handen gebruikt bij het plukken van kokosnoten”; ôri-ôri “een band vroeger om de lendenen gedragen onder den lendengordel, om dezen houvast te bezorgen”; ôri “ring om sleutels aan te hangen” (sanöri gahe, sanöri dana “panjatan kaki dan tangan yang dipergunakan untuk mengambil buah kelapa”; öri-öri “ikatan yang dulu dikenakan di pinggang di bawah ikat pinggang, untuk menjadi pegangan”; öri “cincin untuk menggantung kunci”).
Kini makna öri telah bergeser. Menurut Laiya (1975:9), öri adalah persekongkolan antarkampung yang saling seia menerima tata hukum yang seragam demi memelihara hubungan-hubungan sosial antarwarga öri dan bukan pertama-tama demi kepentingan pertahanan. Menurut kamus karya Apolonius Lase (2011:250), öri (nöri) adalah sistem pemerintahan adat yang dipimpin oleh seorang tuhenöri yang terdiri dari beberapa kampung.
Sementara kamus susunan Laiya dkk. (1985:235) memaknai öri dalam tiga aspek. Pertama, gabungan beberapa kampung yang dikepalai oleh seorang yang disebut tuhenöri. Kedua, sebangsa loyang (yang dapat membuat air menjadi dingin); idanö nöri (air yang sangat dingin). Dan ketiga, gelang yang ditemukan di hidung babi hutan (yang menurut kepercayaan kuno gelang ini dipasang oleh makhluk halus pemiliknya agar tidak luka kalau kena tembak dan sebagainya), orang memakai gelang ini sebagai penangkal agar tidak luka kalau kena pisau dan sebagainya.
Gelang Sakti
Berdasarkan cerita orang kepadanya, E.E.W.Gs. Schröder (1917:241) mencatat mengenai öri dsöghà, yaitu sebuah cincin metal pada taring seekor babi hutan. Cincin tersebut merupakan ‘jimat kekebalan’ yang sangat kuat (een bijzonder sterke öba). Namun, menurut Faogöli Harefa, öri adalah sebuah gelang.
Harefa (1939:84) menulis, Öri jaitoe nama benda. Benda itoe ialah sebangsa gelang jang asalnja dari pada lojang, tiada nampak persamboengannja. Kata orang gelang jang diseboet öri itoe hanja terdapat pada babi hoetan jang besar terletak pada djoengoernja. Selagi öri masih ada dibadan babi hoetan, ia tiada loet (telap atau termakan) oleh pisau, tombak dan panah. Djadi öri jang mendjadikan babi hoetan itoe koeat dan kebal.
Mengenai gelang juga diceritakan Sökhi’aro Welther Mendröfa. Menurut Mendröfa (2005:43-4), gelang öriterbuat dari loyang yang hanya terdapat pada seekor babi hutan (celeng) yang telah sangat tua. Gelang itu disangkutkan pada taring sebelah bawah, dan diganjal taring sebelah atas sehingga tidak mudah jatuh.
Konon, celeng itu tidak mempan ditikam benda tajam, dan dia dapat menghilang. Celeng tersebut dikawal enam celeng lain yang memiliki taring panjang dan runcing. Bila celeng tua hendak berkubang, para pengawalnya (yang disebut lamangowe) memeriksa jalan dan lokasi kubangan. Setelah dirasa aman, baru celeng tua itu berkubang.
Di pinggir kubangan terdapat sebatang tunggul pohon. Öri yang senantiasa dibawa celeng tua diletakkan pada tunggul pohon tersebut (dalam versi Schröder, öri dilepaskan saat sang celeng makan). Karena pada tunggul pohon (tuhe) terletak öri, maka dia disebut tuhenöri (tunggul tempat gelang). Konon, öri celeng tua itu diperoleh dari bela (makhluk halus penguasa hutan perburuan). Selama gelang terletak di tunggul pohon, tunggul itu ikut menjadi kebal. Demikian pula orang yang memakai gelang serupa, akan menjadi kuat dan kebal.
Kiranya, kisah “gelang sakti” tersebut berkaitan dengan eksistensi gelang tölagasa di alam nyata. Menurut Mendröfa (1981:14-5), tölagasa adalah sebangsa gelang yang terbuat dari emas atau batu putih (dawödawö).Tölagasa batu putih hanya untuk pria, dikenakan di lengan kiri; sedang tölagasa emas dapat dipakai wanita, dikenakan di lengan kanan. Gelang ini hanya dikenakan raja dan keluarganya.
Seorang pria yang mengenakan tölagasa menandakan dia adalah pemimpin banua (kampung) atau öri(gabungan banua). Dalam hoho, sang pemimpin ditembangkan, Ja’ia dzolōhe bālô gôri-ôri, Ja’ia dzolōhe wondōro [sic.]. Steinhart (1937:53) menerjemahkan, Die was het hoofd, Hij was de leidsman (dia adalah kepala, dia adalah sang pemimpin).
Öri Fondrakö
Selain ‘gabungan banua’ (kelompok banua), öri dipahami bermakna ‘kelompok pesta’. Menurut Schröder (1917:276), öri-pesta (feest-öri) merupakan kring (kelompok) orang-orang yang saling terikat menyelenggarakan pesta-pesta karena bantuan timbal balik pada pesta itu. Pada öri-pesta tidak terlekat sebuah fondrakö dan juga tidak ada ketentuan mengenai ukuran standar dan sebagainya (Bij deze feest-öri komt ook geen fondrakö te pas en heeft ook geene vaststelling van standaardmaten etc. plaats.).
Kiranya, öri-pesta inilah yang dimaksud Mendröfa (2005:43) sebagai öri hada. Bila sejumlah öri hadaberhimpun, lalu menyelenggarakan fondrakö, maka dinamakan öri fondrakö. Dengan demikian, öri hadamerupakan cikal bakal dari öri fondrakö. Artinya, konsep dasar organisasi öri cenderung fungsional(persekutuan adat), ketimbang struktural (persekutuan banua).
Dalam fondrakö dibahas, disahkan, dan diumumkan pelbagai hukum adat. Ada lima isu stragegis fondrakö(Laiya, 1975:12; Hummel & Telaumbanua, 2007:27). Pertama, huku sifakhai ba mboto niha (hukum yang menyangkut kesejahteraan tubuh manusia). Kedua, huku sifakai ba gokhöta niha (hukum yang menyangkut keterjaminan hak atas harta milik manusia). Ketiga, huku sifakai ba rorogöfö sumange (hukum yang menyangkut kehormatan manusia). Keempat, hukum yang menyangkut selingkaran hidup (lahir, kawin, mati). Dan kelima, hukum yang menyangkut pekerjaan dan kepemimpinan.
Pada zaman kuno, öri sebagai ‘gabungan banua’ tidak dijumpai di seluruh Tanö Niha. Öri tumbuh di kawasan utara Nias, domisili kolektif pendukung kisah ‘gelang sakti’. Di kawasan Gomo tidak ada öri, organisasi sosial di sana berdasarkan ikatan perkawinan (Beatty, 1992:206). Artinya, yang terjadi di kawasan Gomo adalah ‘kelompok pesta’. Sedang di kawasan selatan Nias terdapat orurusa (Schröder, 1917:329; Beatty, 1992:206).Orurusa adalah gabungan banua besar dan sejumlah banua satelitnya. Besar kemungkinan, banua satelit itu merupakan banua taklukan; relatif berbeda dengan pola federasi banua yang ada di kawasan utara.
Barulah saat öri diadopsi pemerintah kolonial Belanda dalam struktur birokrasi, öri muncul di seantero Nias. Pada bulan Mei 1919, Belanda menjadikan Nias afdeeling (dari Residentie Tapanoeli) yang dipimpin seorang asisten residen. Afdeeling Nias dibagi dua: Onderafdeeling Noordnias dan Onderafdeeling Zuidnias. Keduaonderafdeelingen dibagi menjadi delapan distrikt; dan selanjutnya dibagi menjadi 59 öri. Setiap öri terdiri dari sejumlah banua (Fries, 1919:137-54). Dengan demikian, öri tumbuh di seluruh kawasan Nias. Öri akhirnya lebih dipahami atau dikenal sebagai ‘gabungan banua’.
Pada masa pemerintahan Republik Indonesia, struktur öri tetap eksis. Namun, lewat keputusan Gubernur Sumatera Utara, No. 222/v/GSU, tanggal 24 Juli 1965, öri dihapus. Kebetulan, gubernur saat itu dijabat putra asal Nias, Pendeta Roost Telaumbanua. Sejak itu pula öri, salah satu cara orang Nias berorganisasi, bersemayam dalam sejarah peradaban Ono Niha.
Langganan:
Postingan (Atom)